Semesta kadang suka sebercanda ini ya?
Nathan.
Laki-laki yang masih memakai seragam sekolah meskipun kini jam telah menunjukkan pukul tujuh malam, melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak terlihat keberadaan ayahnya di sana. Biasanya, ayahnya sudah duduk bersantai di kursi depan rumah. Menyesap puntung rokoknya. Namun entah kemana perginya laki-laki itu sekarang.
Jeffrey tetap melangkah masuk ke dalam rumah. Mendapati Jovan yang tengah asyik memainkan game di ponselnya. Akhir akhir ini, Jeffrey sering memperhatikan seringnya Jovan memainkan game itu. Bahkan ia pernah memergoki adiknya itu masih bermain di pukul dua pagi. Meski pada akhirnya Jovan hanya nyengir menunjukkan gigi rapihnya, lalu selepasnya tidur.
Puk puk.
Jeffrey menepuk pelan pundak Jovan. Membuat laki-laki bermata bulan sabit itu menoleh ke arahnya. Lalu dengan cepat menutup layar ponselnya. Tak peduli apakah ia akan menang atau kalah. Tatapan penuh tanya dari abangnya ini lebih membuat dirinya terpaku.
Jovan tidak menyangka jika Jeffrey akan pulang secepat ini. Biasanya masih pukul delapan malam baru abangnya ini akan pulang.
"Jangan main game terus."
Jovan menggeleng hingga tanpa sadar menunjukkan mata boba miliknya. "Enggak terusan, kok. Adek baru aja main. Adek juga udah ngerjain tugas sekolah. Jadi enggak papa kan main game?"
Jeffrey lantas tersenyum, "Ya udah, enggak papa. Tapi abis ini Jojo tidur ya. Jangan kemaleman."
"Jangan manggil Jojo ih. Jovan, abangggg."
"Jojo." Usil Jeffrey sambil mencubit hidung Jovan.
"Ayah mana?" tanya Jeffrey.
"Enggak tau. Adek pulang sekolah, emang udah enggak keliatan oom."
"Nana?" tanya Jeffrey kembali. Pasalnya ia tak melihat batang hidung adik bungsunya itu.
"Tidur di kamarnya. Mau adek bangunin?"
"Enggak usah. Abang aja."
Sejujurnya, Jovan lebih memilih biar dirinya yang membangunkan Nathan. Ia sudah yakin, jika Jeffrey yang membangunkannya, sudah dipastikan ia akan memarahi abangnya itu, "adek aja ya. Biar nanti kalo marah marah, marahnya ke adek. Bukan ke abang."
"Abang aja enggak papa. Adek udah makan?" tanya Jeffrey.
Jovan mengangguk. "Udah, kok."
"Mie instant lagi?"
"Kok abang tau?" Jovan mengerutkan keningnya. Memang benar dirinya baru saja makan mie instant sebagai makan malam.
"Bungkusnya belum di beresin tuh di dapur. Jangan makan mie instant terus. Nanti sakit. Kalo mau makan apa, bilanga abang. Nanti biar abang yang beliin. Yang penting jangan makan mie instant."
Jovan menunduk membaca bahasa isyarat dari Jeffrey. Bukan apa apa, ia tak mau membuat Jeffrey harus bekerja lebih keras. Melihat abangnya yang banting tulang untuk membeli segala kebutuhan keluarga ini, sepertinya sudah cukup rumit.
Meski bukan untuk biaya hidupnya di sini. Karena Jovan masih di kirim uang oleh ayah bunda di Bandung. Namun kadang lebih baik ia gunakan untuk membantu Jeffrey membeli kebutuhan kecil di rumah ini. Makanya ia lebih memilih makan mie instant.
Ayah bunda di Bandung juga bukan dari kalangan keluarga berada. Ayah juga banting tulang untuk mengriminya uang dan memenuhi kebutuhan keluarga di sana. Alasan dirinya tinggal bersama Jeffrey, karena ia tahu jika abangnya akan kesepian di rumah ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kepulangan
Fiksyen RemajaLaki-laki bisu yang seringkali menjadi lampiasan semesta atas semua ketidakadilan. Satu satunya kebahagiaan yang ia miliki adalah memori bersama ibunya. Kasih sayang dari ayahnya bahkan terbatas hanya sampai ibunya tiada. Dinding kebencian dari adik...