Bab 9

717 103 5
                                    

Perjalanan hidup adalah perjalanan yang penuh misteri. Tidak semua bisa dikontrol oleh diri sendiri. Jalan yang ditempuh bisa sehalus satin atau bahkan berduri.

Melewati hari demi hari dengan orang-orang terkasih, tetapi tidak sedikit pula yang berdiri sendiri.

Seorang laki-laki memasuki tempat peristirahatan terakhir seorang diri. Dia membawa buket bunga lily putih di tangannya.

Walaupun malam sudah semakin larut, dia tidak menghentikan niatnya untuk menemui orang yang sangat dicintainya.

Laki-laki itu duduk bersimpuh di depan sebuah pusara. Diusapnya batu nisan granit berwarna hitam itu dengan penuh kasih sayang. Lantas menaruh buket bunga lily putihnya di sana.

Perasaan itu hadir kembali, membuat dadanya menjadi sangat sesak. Tak kuat menahannya, akhirnya dia menyerah. Air mata mengalir di kedua pipinya, bibirnya digigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara.

Dia masih ingat dengan jelas kondisi terakhir orang tersayangnya saat ditemukan setelah menghilang berhari-hari. Mengenaskan.

Kepalanya hancur, kedua ujung bibirnya dirobek hingga menyentuh telinga, luka-luka sayatan menyebar di seluruh tubuhnya, Puluhan paku menancap di telapak kakinya, serta kedua tangannya menghilang entah ke mana.

Angin malam berhembus kencang, suara burung-burung gagak mengisi keheningan malam. Laki-laki itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak berdaya. Tanpa bisa dicegah, air mata terus mengalir.

"Kenapa dunia tidak adil padaku? Kenapa semua orang yang kucintai dan sayangi meninggalkanku sendiri? Kenapa, Tuhan?!"

Hidupnya hancur saat satu-satunya orang yang ada di hidupnya pergi meninggalkannya. Dia tidak bisa hidup tanpanya, tidak lagi.

Segala upaya untuk menghilangkan nyawanya sendiri selalu berakhir dengan kegagalan. Dirinya selalu selamat saat melewati masa-masa kritis. Frustasi, itu yang dirasakannya.

Seolah-olah Tuhan menginginkan dirinya tersiksa di dunia yang kejam ini. Tanpa adanya seseorang di sisinya, tanpa ada kebahagiaan yang menghampirinya.

Butuh berbulan-bulan untuk dia bangkit dari keterpurukannya. Tumpukan luka dan kebencian membuatnya bangkit sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Menjadi pribadi yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Perlahan dia mulai menjalani harinya dengan normal. Namun, tidak dengan hatinya. Hatinya kian mengeras, senyuman dan tawa menjadi hal terasing di hidupnya.

Bermenit-menit lamanya hanyut dalam kesedihan, dia akhirnya tersadar. Dia menghapus jejak air mata di pipinya. Dihirupnya udara dengan rakus.

Matanya berkilat penuh amarah, sesuatu dalam dirinya berkobar hebat tak terkendali. Hatinya semakin hari semakin menghitam. Kegelapan menyelimutinya.

"Nyawa dibalas dengan nyawa. Tunggu dan lihat. Aku pasti akan membalas semua perbuatannya padamu, Ibu."

Laki-laki itu mencium batu nisan di depannya, lalu berdiri dan melangkah keluar dari area pemakaman dengan badan yang tegap dan langkah yang tegas.

Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, seakan dia tidak mengenal apa itu kesedihan dan kebahagiaan. Di samping tubuhnya, kedua tangannya mengepal kuat.

"Kau akan mendapatkan balasannya. Kupastikan kau akan menyesal telah lahir ke dunia ini."

Di atas, langit, muncul kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan. Beberapa saat kemudian disusul dengan suara guntur yang menggelegar.

Laki-laki itu bergegas menaiki sepeda motornya. Dia berkendara hingga tidak bisa melihat cakrawala. Dia merasa hidup saat terus melesat jauh bersama dengan kecepatan.

The New MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang