Bab 13

691 94 15
                                    

Claire semakin bergerak ke sudut kamar, menjauhi mayat Alexa yang bersimbah darah. Tangannya yang gemetar ketakutan menutupi mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Matanya tidak lepas dari mayat Alexa dan pisau yang tadi dilempar olehnya.

Terkejut, takut, panik, semuanya bercampur menjadi satu. Dengan spontan, dia langsung meraih jaket kulitnya yang berada di bawah tempat tidur. Setelah memakainya, dia lalu mengambil pisau yang berlumuran darah Alexa dan menyembunyikannya di balik jaket yang dipakainya.

Dengan nafas yang memburu, Claire langsung berlari keluar dari kamar tersebut. Kepalanya menoleh ke segala arah, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Setelah menutup pintu kamar dengan pelan, dia bergegas meninggalkan rumah Alexa tepat pada pukul dua dini hari.

Claire berlarian di jalan tanpa alas kaki. Dia berlari di kegelapan seorang diri dengan jantung yang berdebar-debar. Rambutnya yang semula tertata rapi, kini berkibar dengan berantakan.

Tidak adanya kendaraan yang melintas membuat dirinya frustasi. Air mata mengalir di kedua pipinya. Pandangannya kini mulai mengabur karena air mata.

Tanpa arah tujuan, Claire terus berlari. Sampai akhirnya dia terjatuh karena tersandung batu yang berada di tepi jalan. "Akhh! Hiks ... hiks ...."

Tempurung lututnya yang tidak tertutupi oleh gaun terluka saat bergesekan dengan permukaan jalan yang kasar. Pisau yang sedari tadi digenggamnya di balik jaket terlepas, mengeluarkan suara kecil akibat terjatuh ke atas jalan.

Buru-buru Claire mengambil kembali pisau tersebut dan menyembunyikannya di balik jaket dengan tangan yang gemetar. Karena merasa tidak sanggup lagi bangkit dan berlari, dengan tangan yang lainnya dia mengeluarkan telepon genggamnya dari saku jaket.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya panggilan telepon tersebut tersambung.

"H-halo?"

Terdengar berbagai macam umpatan dari lawan bicara Claire di telepon sesaat setelah dia bersuara. Laki-laki itu terusik dengan telepon darinya.

Claire memejamkan matanya saat mendengar umpatan-umpatan itu. Dengan terpaksa, tidak ada pilihan lain yang lebih baik, Claire memutuskan untuk meminta tolong padanya. Hanya dia yang bisa diandalkan oleh Claire saat ini.

Sebagai penutup sambungan telepon, dia memohon dengan suara yang sangat lirih. "Aku mohon, tolong aku kali ini saja."

Dia tidak tahu harus ke mana dia pergi. Alamat rumahnya sama sekali tidak Claire ingat. Tidak mungkin jika dirinya kembali ke rumah Tiffany. Tiffany dan ibunya pasti akan bertanya tentang bercak darah yang berada di tangan dan gaunnya.

Mereka pasti akan bertanya-tanya sampai rasa penasarannya hilang. Dan yang paling ditakutkan oleh Claire adalah jika mereka tidak mempercayai Claire. Dia takut mereka akan menuding dirinya adalah penjahat kriminal.

Satu jam kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan tubuh Claire yang luruh di tepi jalan. Kini, sudah tidak terdengar lagi isak tangis dari perempuan itu. Hanya tersisa wajah putih pucat dengan pandangan mata yang kosong menatap noda darah di bagian bawah gaun hitamnya.

Draco keluar dari mobil, dia melangkah mendekati Claire yang terlihat rapuh itu. Laki-laki dengan kaos hitam itu berdiri bersandar di kap mobil, berhadapan langsung dengan Claire yang terduduk di atas tanah dengan tidak berdaya. Salah satu tangannya dia masukkan ke dalam saku celana jeans hitamnya.

Menyelipkan sebatang rokok di antara kedua bibirnya, lalu tangan kanannya merogoh saku celana untuk mengambil sebuah mancis. Tak lama setelahnya, kepulan asap keluar dari mulut laki-laki itu.

"Aku tidak akan bertanya apa-apa. Sudah jelas kondisimu sekarang terjadi karena ulahmu sendiri."

Benar. Apa yang dikatakannya itu benar. Claire mengakuinya dalam hati. Meski pikirannya melayang jauh, dia tetap bisa mendengarkan semua yang dikatakan oleh Draco.

The New MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang