Bab 1

1.2K 131 14
                                    

Langit yang cerah, terlukis awan yang indah. Sinar matahari masuk ke celah-celah ventilasi, menghangatkan udara di pagi hari tanpa basa-basi.

Seorang wanita berusia kepala tiga sedang berkutat di dapur seorang diri. Tangannya gesit mengaduk telur dan susu, memasukkan essence vanila dan kayu manis, dan kembali mengaduknya sampai tercampur rata.

Beberapa lembar roti dicelupkannya ke dalam adonan hingga meresap, lalu mulai memanggang roti-roti itu selama dua-tiga menit.

Setelah matang, wanita itu menyajikannya di piring dengan memberi topping raspberries, blueberries, sedikit gula halus, serta sirup maple.

Tiga piring french toast disajikan di meja makan, di sana sudah terdapat secangkir earl grey tea dan hot chocolate.

"Selamat pagi, Sayang!" Seorang pria berjas hitam memeluknya dari belakang, mengecup singkat pipi wanitanya.

Senyuman manis sang istri menyapanya. "Selamat pagi juga, Arthur. Ayo, cepat sarapan! Hari ini adalah hari yang penting buatmu. Jangan sampai terlambat."

Mengambil sikap hormat, Arthur menjawab dengan tegas, "Aye, aye, Captain!"

Tingkah lakunya membuat Adaline tertawa kecil, dia menatap geli suaminya. Dari dulu suaminya tidak pernah berubah, selalu membuatnya bahagia walaupun dengan hal kecil. Dia mensyukuri hal itu.

Setelah suaminya beranjak ke meja makan, wanita itu menuangkan kopi dari mesin kopi otomatis ke dalam cangkir, lalu melepaskan apron cokelatnya.

Berjalan ke meja makan, Adaline meletakkan secangkir kopi panas di meja untuk suaminya, kemudian berteriak, "Agatha, cepat turun! Cokelat panasnya akan menjadi dingin!"

"Agatha!" Teriak Adaline lagi saat tidak mendapatkan balasan.

"Iya, sebentar, Ibu!" suara seorang remaja perempuan menjawab dari lantai dua.

Adaline menarik kursi, duduk, meminum tehnya dengan tenang. "Anak itu selalu saja begitu, tidak pernah mau mendengarkan."

Arthur meneguk kopinya. "Biarkan saja, dia masih kecil."

"Dia sudah berusia enam belas tahun, Arthur! Seharusnya dia memaha-"

"Bagaimana tehnya? Enak?" Arthur memotong perkataan Adaline, dia tidak ingin istrinya merasa kesal pagi-pagi begini.

"Tentu saja, teh buatanku. Tidak ada yang menandinginya." Arthur tertawa geli mendengarnya.

Adaline menatap suaminya yang sedang makan, dahinya berkerut ketika melihat ada sesuatu yang kurang. "Di mana dasimu?"

Spontan Arthur melihat kemejanya, dia menepuk dahinya gemas. "Astaga, aku melupakannya. Pantas, sedari tadi aku merasa ada yang tertinggal."

Menggelengkan kepalanya pelan, Adaline berdiri dari kursinya. "Aku akan mengambilkannya."

"Terima kasih, Sayang!" Beberapa detik kemudian, dia berteriak, "Agatha, cepat turun! Atau kupotong uang sakumu!"

"Aku turun! Aku turun, Ayah!"

Seorang remaja perempuan mengenakan seragam dengan rapi menuruni tangga dengan terburu-buru. Rambut hitam terurainya bergerak ke sana kemari seiring langkahnya.

Agatha mendekati meja makan, bersamaan dengan Adaline yang membawa sebuah dasi biru tua.

"Selamat pagi, Ayah, Ibu!"

"Selamat pagi!"

Segelas cokelat panas diteguk perlahan oleh Agatha, lalu dia mulai memakan makanannya. "Selamat makan!"

The New MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang