🌻二十六 | on a cold night

101 16 0
                                    

"Capek gak Hay? Kalo capek gue gendong aja sini." Kata Minho dan cuma gue tanggepin dengan gelengan kepala.

Gue sama Minho abis cari makan malem di warung yang agak jauh dari villa. Tadinya Pak Jum —penjaga Villa gue— udah nawarin buat bawain makanan ke villa aja biar gue ga jauh-jauh jalannya. Tapi gue tadi gak mau soalnya gue pengen jalan jalan malem gitu. Akhirnya beli makan di warung kecil yang agak jauh.

Tadi pas berangkat cari makan malam udaranya gak begitu dingin dan gue masih semangat jalannya. Mungkin karena laper. Tapi sekarang gue rasanya males banget jalan, padahal villa gue masih jauh. Sialnya gue lupa bawa jaket. Udara malem ini bener-bener dingin banget. Tangan gue sampe gemeteran karena kedinginan tapi gue sembunyiin karena gak mau Minho lihat.

Minho tiba tiba berhenti kemudian ngulurin tangannya.

"Ayo, gue gandeng aja biar lo ga hilang." Katanya

"Apasih, lo kira gue anak kecil apa pake digandeng segala. Udah ayo jalan lagi aja."

Disini gue mencoba untuk tetap stay cool aja meski sebenernya jantung gue mau meledak rasanya. Minho bukan orang yang love language nya physical touch kaya gini. Makanya sebelumnya dia ga suka ngelakuin skinship sama gue. Love language Minho itu act of service. Dia ga banyak bicara tapi selalu ngelakuin tindakan yang bikin gue jatuh makin dalam.

"Minho, masih jauh ya?" Tanya gue

"Ngga sih, kurang dari satu kilometer udah sampe."

Gue cuma menghela nafas. Gue menyesal kenapa gak terima tawaran Pak Jum buat bawain makanan. Mana ini villa nya kan kaya di tengah hutan meski gak yang ke tengah hutan banget. Masih ada beberapa villa dan rumah penduduk tapi jaraknya jauh-jauh. Malam ini sepi banget, cuma ada beberapa aja yang pada nginep di villa karena ini bukan hari libur.

Gue takut banget asli. Gue benci suasana kaya gini. Tapi gue gak berani ngomong ke Minho. Takut kena marah gue.

"Hayeon? Lo takut ya?" Tanya Minho

"H-hah? Engga kok."

"Oh iya kah? Daritadi disamping kiri lo ada mbak-mbak baju putih yang ngikutin so—"

Reflek gue langsung mepet ke Minho dan meluk dia dari samping.

"BERCANDANYA GAK LUCU IH MIN!"

Minho tiba tiba ketawa nyaring. Gue yang lihat itu cuma bisa mengerjapkan mata berkali kali. Minho ga pernah ketawa. Jangankan ketawa, senyum aja gak pernah. Terakhir kali gue lihat Minho ketawa kayanya tujuh tahun lalu. Pas Mama Minyoung masih ada.

"Akhirnya meluk gue juga kan lo?"

Gue kemudian ngelepasin pelukan gue. Gue yakin muka gue udah semerah kepiting rebus ini.

"Y-ya lo nakutin sih, Min! Gue kan ga suka begituan."

"Makanya sini gue gandeng aja biar ga diambil mbak baju putih." Kata Minho kemudian genggam tangan gue.

Di sepanjang perjalanan menuju villa, gue cuma bisa terpana sama sosok Minho. Minho perlahan lahan berubah. Dia gak sedingin dulu. Meski ngga seratus persen, gue yakin sutu saat nanti kehangatan sosok Minho pasti kembali.

Minho tiba tiba berhenti kemudian jongkok di depan gue.

"Lo ngapain Min? Nyari kodok?" Tanya gue

"Mana ada. Naik, gue gendong."

"Eh, gak usah Min. Gue berat banget, nanti lo capek."

"Gue bakal lebih capek kalo harus ngikutin lo yang jalannya sepelan kura-kura. Udah, gue gendong aja."

"Tapi—"

"Naik atau gue tinggal disini."

Gue mendecih pelan. Gue kira sifat Minho yang suka mengancam ini udah hilang ternyata masih ada. Gue akhirnya digendong sama Minho. Gue takut dia kesusahan karena gue berat. Tapi dianya kaya santai gitu.

"Minho, kalo gue berat turunin aja." Kata gue sambil ngeratin pelukan ke lehernya. Agak modus dikit ceritanya ehe.

"Ngga, gue masih bisa gendong."

Tiba tiba muncul keheningan. Gue sama Minho sama sama diem. Lebih tepatnya gue lagi menikmati hal kaya gini. Gue meluk leher Minho erat sambil nempelin kepala gue ke kepala Minho.

"Hayeon, makasih ya." Kata Minho tiba tiba

"Buat apa?"

"Karena selalu ada buat gue. Semenjak Mama meninggal, cuma lo yang selalu ada sama gue. Makasih karena udah ngurusin gue selama ini. Maaf ya karena gue udah sering bikin lo nangis."

Disini gue cuma bisa diem karena gak tahu harus  kasih respon gimana. Setelah tujuh tahun, akhirnya hati Minho yang diselimuti es mulai mencair dengan perlahan.

"Karena lo, senyum dan tawa gue kembali. Cuma lo yang bisa ngelakuin ini, Hay."

Gue lagi-lagi gak respon. Gue cuma ngeratin pelukan gue ke lehernya Minho aja. Tapi entahlah, gue justru ngerasa takut. Ada banyak hal yang gue takutin.

Salah satunya adalah sikap Minho yang tiba-tiba manis kaya gini. Minho jadi manis begini ketika dia lagi berdua sama gue aja. Tapi didepan banyak orang, Minho berubah jadi sedingin kulkas seribu pintu.

Apalagi hati Minho gak sepenuhnya buat gue. Ada sosok lain yang sampai sekarang masih jadi orang yang sepenuhnya ada di hati Minho.

Gue takut Minho ninggalin gue ketika semakin jatuh cinta sama dirinya. Minho masih milik Naeun, dan itu ngga akan bisa berubah. Minho bukan punya gue.

Tanpa sadar gue nangis karena hati gue udah ga kuat nahan rasa sakit. Gue selama ini nahan air mata dan ternyata malah tumpah didepan Minho.

Tepat didepan villa, Minho berhenti. Dia sadar kalo gue lagi nangis.

"Hayeon... Kenapa?" Tanya Minho

"Minho, sampe kapan lo mau bohongin gue kaya gini?"

"Bohongin gimana?"

"Semua perlakuan manis lo ke gue... Semuanya palsu. Gue tahu lo cuma pura pura. Tolong berhenti, lo makin nyakitin gue, Min."

Minho ga mendengar gue dan malah masuk ke dalam villa. Gak lupa nutup pintunya setelah itu. Minho kemudian nurunin gue dari gendongannya.

"Kenapa lo anggap gue pura-pura?" Tanya Minho

"Karena semua yang lo lakukan bersifat semu. Lo cuma ngelakuin ini ketika berdua sama gue aja. Ketika lo lagi sama Naeun, lo ngga akan begini. Kenapa Min? Lo cuma anggap gue pelarian karena bosen ya? Lo—"

Ucapan gue terhenti ketika Minho meluk gue erat.

"Gue gak pura pura, Hayeon. Gue hanya ingin melakukan semua ini karena gue ngerasa gue harus melakukannya. Gue... Apa gue suka sama lo ya?"

t b c

Eternal Love || Lee Know Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang