Signal | 1

140 22 1
                                    

Seorang gadis terbangun dari tidurnya saat matahari sudah meninggi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seorang gadis terbangun dari tidurnya saat matahari sudah meninggi. Ia ikat rambut sebahunya asal sebelum berjalan ke luar kamar dengan mata masih setengah terpejam. Menuruni tangga rumah milik kedua orang tuanya yang minimalis, ia berjalan sempoyongan. Sesekali mulutnya terbuka mengeluarkan udara efek dari sisa rasa kantuknya.

Tanpa mencuci muka, dia duduk di salah satu bangku meja makan dan mengambil teko teh yang memang sudah tersedia di sana lalu menuangkan isinya ke dalam gelas.

“Baru bangun?”

Gadis itu, Sairish Khanza Aruna, melirik ke arah suara yang datangnya dari mulut wanita yang melahirkannya. Meski tahu ibunya menanyakan itu dengan maksud menyindir, Sairish tetap menjawab dengan anggukan.

“Pagi, Ma,” jawabnya setelah sedikit menyesap teh hijau yang tadi dia buat. Tangannya lalu mengambil piring berisi nasi goreng yang sudah disiapkan sang ibu.

“Pagi dari mananya? Udah jam sebelas masih kamu bilang pagi?” sindir Arimbi, sang ibu, yang sudah menjadi makanan Sairish sehari-hari. Dia sampai kebal saking sudah terbiasanya. Setelah kalimat itu pasti akan ada kelanjutannya... “Perawan bangun siang, mau jadi apa kamu?”

Tuh, kan. Baru juga Sairish pikirkan sudah ke luar saja kalimat itu.

Sairish mati-matian menahan agar bola matanya tidak berputar. Topik itu lagi itu lagi. Sairish kadang heran apa ibunya itu tidak bosan membahas hal itu terus?

“Ma, aku nggak males-malesan. Habis begadang ngerjain revisi novel semalam. Lagian aku bangun siang uangnya juga sama kayak orang kantoran. Lebih gede malah. Lebih enak lagi kerjanya, santai.”

Sairish tidak bohong. Dia memang begadang karena harus menyelesaikan revisian novelnya semalam. Sejak memutuskan bekerja sebagai penulis full time dia memang sering dikira pengangguran. Bahkan sama ibunya sendiri. Padahal, ibunya juga tahu apa yang dia kerjakan dan sudah menerima keputusannya. Tapi, tetap saja, bagi ibunya yang merupakan mantan karyawan sebuah bank sebelum memutuskan pensiun dini, profesi penulis itu bukan suatu pekerjaan. Padahal kan, sama saja. Yang penting pekerjaan Sairish halal.

Memang Sairish juga sih, yang salah. Dia lulusan ekonomi manajemen malah bekerja sebagai penulis. Mungkin itu yang membuat Arimbi kecewa karena anaknya sudah disekolahkan mahal-mahal tapi tidak jadi apa-apa. Menurut dia.

Sairish sudah suka menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah. Bukan keputusan yang tiba-tiba dia mau melanjutkan karirnya di bidang itu. Apalagi modal nekad tanpa memikirkan untung ruginya. Menulis adalah hobinya. Dan Sairish ingin sekali hobinya itu menjadi sumber penghasilannya. Kan lebih menyenangkan kalau bekerja sesuai passion. Dia jadi tidak merasa jenuh bahkan terpaksa.

Heart Signal [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang