Signal | 10

54 17 6
                                    

Leo berlari pelan mengelilingi lapangan kecil dekat rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Leo berlari pelan mengelilingi lapangan kecil dekat rumahnya. Lima belas menit sudah dan dia berhenti sejenak. Sambil mengatur napasnya, dia duduk di paving block berlapis semen lalu meneguk botol minum kecil yang dia bawa.

Dengan kedua tangan bertopang pada lutut, Leo membuka ponselnya. Melihat lagi ruang obrolannya dengan Sairish.

Setelah perdebatannya dan sang ibu, dia memberanikan diri menghubungi Sairish lagi. Dia sudah bertekad kali ini dia akan benar-benar memperjuangkan Sairish.

Namun, yang didapat justru mengecewakannya. Sairish tidak membalas pesannya sama sekali. Hanya dibaca.

Leo menopang kepalanya dengan kedua tangan. Sikunya masih bertumpu pada lutut. Dia mendesah kasar, berpikir bahwa Sairish pasti kecewa sekali padanya.

Dirinya memang bodoh. Kalau saja dia bisa tegas pada dirinya sendiri sejak awal, tidak akan begini jadinya.

“Leo.”

Sebuah panggilan menyadarkan Leo. Dia menengadah, dan apa yang dia temukan membuatnya malas. Bukan orang yang dia harapkan sama sekali.

“Abis olahraga?” tanya orang itu yang lantas duduk di samping Leo.

“Hm.”

“Kamu udah sarapan belum?”

“Belum.”

“Kita sarapan, yuk. Kebetulan aku mau beli sarapan juga.”

“Makasih. Saya sarapan di rumah aja,” jawab Leo sama sekali tidak ramah.

Leo hendak pergi meninggalkannya, namun sesuatu menahannya.

“Dina! Udah dibeli belum nasi uduknya?” Seorang wanita paruh baya berseru tak jauh dari mereka.

“Oh iya, sebentar, Nek. Dina mau minta temenin Leo,” jawab Dina pada neneknya itu.

Leo menatapnya tak terima. Tapi, Dina tak peduli dan langsung menarik lengan Leo, memintanya untuk mengikutinya.

“Saya mau bicara sama kamu, Dina,” Leo menghentikan langkah Dina sepulang mereka dari membeli nasi uduk.

Dina menoleh, menatapnya penuh tanya.

“Tolong, mulai sekarang kamu nggak perlu ke rumah orang tua saya lagi.” tegas Leo, “Kamu nggak perlu cari muka di depan mama saya, dan nggak perlu deketin saya. Karena saya tahu, apa yang kamu lakukan ini nggak tulus.”

Dina menatapnya jengkel, “Kenapa kamu jahat banget?”

“Jahat?”

“Iya. Seharusnya kamu berterima kasih sama aku karena akhirnya aku mau terima kamu.”

Leo tertawa sinis, “Dina, dulu saat saya punya perasaan sama kamu apa yang kamu lakukan? Kamu nggak peduli sama saya. Malah terang-terangan mendorong saya menjauh karena pria lain. Sekarang, ketika kamu sudah nggak ada harapan sama pria itu, kamu berbalik mendekati saya? Apa tujuan kamu? Kamu takut kehilangan saya karena punya perasaan sama saya, atau kamu hanya takut kehilangan pengagum?” Melihat Dina yang hanya diam, Leo kembali tertawa sinis, “Kamu sendiri bingung.”

Heart Signal [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang