Gadis di sampingnya tak henti-henti menggelayuti padahal sudah berkali-kali ia mengatakan bahwa ia sedang sibuk. Ia melirik teman-temannya yang berlarian ke sana-ke mari. Entah mengapa rumah sakit tempatnya praktik saat ini lebih gaduh dari biasanya. Padahal ini sudah jam sembilan lewat.
Zulfa menghela napas. Kondisi adiknya memang sudah membaik, tapi Zulfa juga tidak mau membiarkan Riana di rumah sendiri. "Riana... kamu balik ke kamar ajaa...," pintanya pada Riana lagi. Gadis itu tak juga menurut, tetap menguntit kakaknya yang berjalan di sepanjang lorong tanpa mau mengerti.
"Nggak mau... dari kemarin Riana udah Kakak tinggal teruuss," sahutnya manja. Sikap yang tak pernah Riana tunjukkan pada siapapun kecuali pada Kakak tercintanya.
"Ya tapi Kakak sibuukk...." Zulfa menjawab putus asa. "Tinaaa... yang dari rambutan dua udah nyampe?" tanya Zulfa begitu berpapasan dengan salah seorang perawat yang berlari masuk.
"Itu kayaknya, Zul!" jawab wanita pendek itu terburu. Tina dan kawan-kawannya mengeluarkan sebuah meja beroda. Terlihatlah di pintu masuk seorang pemuda berpakaian putih abu-abu yang menggotong seorang gadis berseragam sama, diikuti seorang Ibu-Ibu di belakangnya. Setelah gadis itu berhasil dibaringkan, para perawatlah yang gantian menggelandangnya ke ruang unit gawat darurat. Melihat siapa orang-orang itu mata Riana membulat. Tak lama berselang, bunyi ambulans mengeras. Muncul beberapa orang bermasker yang menggotong seseorang menggunakan tandu. Riana tetap bergeming menyaksikan dua korban yang melewatinya beruntutan. Ia tahu siapa gadis itu, berikut orang-orang yang menyertainya. Juga... orang yang baru saja memasuki ruang UGD setelahnya.
"Usman!" suara Zulfa menyadarkan Riana serta merta. Dengan langkah kaki terpincang, seorang pemuda menyusul. Dengan sigap Zulfa membantu memapahnya. Menyaksikan apa yang terjadi, kepala Riana terasa pening. Kunang-kunang yang beberapa hari yang lalu membayangi matanya kembali menyerbu. Dadanya berdegup dan kakinya melemas hingga tak mampu menopang tubuhnya lagi.
"Riana!"
***
Hening berkuasa. Kini lorong yang semenjak tadi gaduh itu sepi. Beberapa pegawai masih mondar-mandir, kebanyakan dari mereka sudah pulang, bergantian dengan teman lain yang memperoleh jatah jaga dini hari. Meja resepsionis adalah tempat yang paling benderang. Terlihat dengan jelas di sana sepasang wanita sedang berbincang, mengusir rasa kantuk yang sudah sejak lama menghampiri. Riana mengalihkan pandangan matanya dari mereka ke pintu UGD yang tertutup rapat. Bibirnya mengerucut. Di samping kanannya, duduk seorang pemuda awut-awutan yang terlihat begitu letih. Riana menoleh padanya saat Imam hendak berujar, "Jadi ternyata, lo tetangganya Anton?" tanyanya memecah kebisuan. Riana hanya mengangguk sambil menundukkan pandangan. Sifat pemalunya muncul lagi.
"Jadi selama ini kalian sering bareng bukan karena ada apa-apa? Hanya sebatas tetangga?" tanya pemuda itu lagi, yang lagi-lagi ditanggapi Riana dengan anggukan. Melihat wajah polos Riana, Imam menghela napas. Ia sama-sama memandangi apa yang Riana lihat. Pintu UGD yang tertutup rapat. "Jodoh banget ya mereka... kecelakaan aja sampe bareng," kata Imam sambil terkekeh hambar. Riana sendu mendengarnya. Sendu oleh nasib tetangganya. Pemuda baik, pintar, lagi santun, yang berusaha menyayangi seseorang tapi terhalang oleh strata tak kasat mata. Riana tahu kenapa Anton meragu. Pemuda itu telah menceritakan semuanya, dan itu membuat Riana semakin menaruh simpati pada Anton.
"Kasihan Anton...," gumam Riana yang membuat Imam menoleh ke arahnya. Alis tegas pemuda itu berkerut.
"Kasihan juga Virza... gara-gara gue, dia jadi gini," sambung Imam yang membuat kedua orang itu menghela napas.
"Kasihan Anton mau ujian...." Riana kembali mengeluh.
"Kasihan Virza mau ujian... mau berjuang buat sekolah ke Amerika." Imam menyambung.
Riana terdiam. Kini suara dua orang penjaga di ruang resepsionis sudah tak terdengar karena keduanya tengah sibuk dengan ponsel masing-masing. "Kamu deket ya sama Virza?"
Mendengar pertanyaan itu, Imam tergagap. "Lumayan."
Riana manggut-manggut, membuat Imam terpancing untuk melontarkan pertanyaan yang sama. "Kamu deket ya sama Anton?"
"Lumayan," jawab Riana yang ditanggapi Imam dengan manggut-manggut.
"Kamu tahu kalau Virza suka sama Anton?" tanya Imam yang membuat tatapan Riana melembut. Lebih kepada mengenang.
"Yang aku tahu... Anton itu sayang banget sama Virza. Anton tahu gimana kehidupan Virza, keadaannya, keluarga besarnya, dan kesehariannya yang serba mewah. Sebenernya Anton udah menahan diri buat nggak menjatuhkan hati pada orang semacam... yahh, yang lebih tinggi kedudukan materinya daripada dia. Tapi kamu tahu kan Mam... orang sayang itu, nggak bisa menahan diri buat nggak peduli pada orang yang dia sayangi." Riana menjeda, membuat Imam dapat merasakan betapa Riana juga mempedulikan Anton lebih dari apapun. Iya, gue tahu tentang itu, tahu banget.
"Anton nyerah. Setiap kali Virza butuh bantuan, dia selalu peka. Pokoknya Anton itu care banget, lah. Dia udah nggak bisa nutupin perasaannya. Dan dia juga nggak nyangka kalau Virza bakal nanggepin sebaik itu." Riana menghela, menatap Imam yang semenjak tadi juga memandangnya. "Anton itu kalau punya keinginan dan udah menjatuhkan pilihan... bakal berjuang mati-matian buat merealisasikan apa yang dia inginkan. Begitu juga ketika dia memilih untuk mundur. Sesulit apapun pilihan itu, dia bakal berusaha. Apapun taruhannya." Pungkas Riana yang membuat Imam menelan ludah. Imam masih menatap Riana nanar saat gadis itu mencoba mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Yang jelas kedua manusia itu saling menyayangi dengan tulus," kata Imam yang membuat Riana geleng-geleng.
"Enggak. Anton udah mutusin buat berhenti. Buat mundur. Ada urusan yang lebih besar, lebih penting, dan lebih utama buat dia perjuangkan katanya. Lebih dari sekedar mikirin hal remeh temeh semacam itu. Dia mau serius menjalani hidup. Menyerahkan dirinya secara total pada ilmu pengetahuan. You know, dia calon ilmuwan besar!" jelas Riana yang membuat Imam terpana. Untuk beberapa saat mereka saling adu pandang, berbagi kepedihan, kepiluan, kepedulian, dan kejujuran tentang perasaan. Mereka tidak saling mengatakan, tapi saling memahami. Bahwa mereka memiliki rasa tersendiri pada kedua orang yang telah mereka perbincangkan. Rasa yang istimewa, yang selama ini terpendam bahkan baru sadar jika ia telah lama bersarang.
"Riana...," panggil Imam terdengar lelah. "Kayaknya lo harus istirahat."
"Okee," jawab gadis berkucir itu seraya berdiri. "Kamu mau sampai besok pagi nungguin Virza?"
"Enggak... gue juga mau pulang. Udah ada mamanya, kok," sahut Imam sambil tersenyum tulus.
"Hati-hati, ya," pesan Riana yang ditanggapi Imam dengan anggukan. Keduanya kemudian menjauh, menuju tujuan masing-masing. Setelah ini, mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mungkin, menyerahkan semuanya pada takdir.
***
a/n
terimakasih sudah terus membaca :D

KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Novela JuvenilJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...