#16 Keputusan

334 20 2
                                        

Kantin SMA Negara riuh. Di setiap konter selalu ada saja yang mengantri. Tak habis-habis siswa-siswi berdatangan padahal istirahat kedua sebentar lagi akan berakhir. Di sudut kantin dekat wastafel, seorang pemuda menatap gadis di hadapannya dengan alis terangkat heran. Wajah gadis itu cemberut, merasa bersalah dan makin merasa berdosa karena pemuda di hadapannya tak menghilangkan ekspresi bencinya.

"Gue tahu gue salah... gue minta maaf. Gue yang nglaporin ke Papa tentang keberadaan elo. Jadi... gue rasa, ini salah gue," jelas Niki pasrah.

Imam meneguk jus alpukat yang setengah tandas tanpa sedotan. Pipinya menggembung, menelan cairan hijau itu sedikit demi sedikit. Rambut lebatnya kini berganti dengan rambut ala anak militer, hampir mirip dengan Alex. Hanya saja tidak sampai membuat kulit kepalanya terlihat karena rambutnya cukup tebal. Gara-gara dicukur guru BK pagi ini.

"Terus?" Imam menatap tajam ke bola mata Niki. Bola mata yang sama, hitam legam, tajam, dan mematikan. Bahkan Niki yang keras kepala sampai tergagap ditatap seperti itu. "Apa dengan gitu bisa memperbaiki semuanya? Masalahnya udah nggak sepele lagi tau nggak sih!? Keadaan Virza, woy! Orang yang nggak salah apa-apa dan seharusnya nggak tahu menahu tentang ini."

"Tapi lo juga nggak bisa gini terus! Gue udah berusaha ngomong baik-baik, kan? Gue juga nggak tahu kalau akhirnya akan gini! Sumpahh... gue... gue harus gimanaa?" Gadis berkepang itu mulai menitikkan air mata. Batinnya sudah kacau, sudah tidak tahan dengan pengadilan Imam yang mengintimidasi. Melihatnya Imam melengos. Tak ada rasa bersalah, apalagi iba. Sekarang yang membuatnya ingin menyelesaikan ini bukan karena kasihan, tapi karena malu sudah banyak dilihat orang.

"Mau lo apa?" tanya Imam dingin.

Niki menghentikan tangisnya. Ia usap dengan cepat air mata yang membasahi wajah. Dihelanya napas dalam, kemudian memberanikan diri menatap Imam.

"Gue mau lo terima gue...," kata Niki sendu. Matanya kembali berkaca-kaca. "Gue tahu, itu emang berat banget. Tapi masak lo tega sama gue? Lo nggak kasihan sama gue? Gue udah nggak punya siapa-siapa. Ibu gue sakit, dua bulan yang lalu dia meninggal. Apa salah Papa yang niat ngasuh gue? Gue anaknya... dan elo... plis, elo saudara guee."

"Gue udah berusaha memperbaiki semua. Sekarang... terserah elo," pungkas Niki pelan. Ia sudah pasrah dengan keputusan manusia di hadapannya.

"Oke," jawab Imam singkat. Pemuda itu segera berdiri dan bergegas. Cepat-cepat Niki ambil suara lagi, "Lo nanti mau jenguk Kak Virza, kan? Gue ikut, ya?" pinta Niki yang membuat gerakan Imam terhenti. Didapatinya Niki tersenyum penuh harap, senyum yang tulus, tapi tak mampu membuat senyum Imam turut terbit. Imam hanya diam dan meninggalkan Niki dengan tatapan 'terserah lo'.

Setelah kepeninggalan Imam, bel masuk jam pelajaran terakhir berdentang. Lama-kelamaan para siswa meninggalkan bangunan itu menuju kelas masing-masing.

***

Pelan, Riana melewati koridor rumah sakit yang dipenuhi oleh orang-orang, baik pembesuk, petugas, maupun pasien. Didorongnya kursi roda yang Anton tempati dengan ikhlas. Tak ada luka yang sangat serius, hanya saja sendi pergelangan kaki kanan Anton bergeser, dan beberapa tulang tubuhnya masih terasa nyeri. Siku dan beberapa anggota tubuh lain diperban karena tergores aspal jalanan. Sesekali mereka tertawa, membincangkan kabar sekolah yang akhir-akhir mereka tinggalkan. Sampai di jalan corblok yang melintasi taman rumah sakit, Riana berhenti. Didudukinya kursi besi yang ada di dekat jalan itu sambil melepas tasnya.

"Tadi pelajarannya apa? Materi baru?" tanya Anton yang membuat Riana menjentkkan jari.

"Oiya, Ton... aku tadi ada yang belum jelas, tanya dong...," kata Riana seraya mengeluarkan sebuah buku big boss kota-kotak dan membuka lembar paling belakang. Ia perlihatkan tulisannya itu pada Anton.

Forgetting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang