Gegap gempita penghuni stadion begitu meriah. Semua beradu seruan untuk mendukung tim kebanggaan mereka masing-masing. Terlihat dari sekian rombongan supporter ber-dresscode biru, ada satu objek yang sangat mencolok dari yang lain. Benar saja karena ia memakai baju hitam. Bahkan apa pun yang ada di tubuhnya sama sekali tak bernafaskan warna laut. Toh ia tak juga peduli dengan apa pun.
“Ku yakin kau bisa... ku yakin kau bisa menang...
Kami kan slalu ada di sini... di sini kami ada untukmu...
Ku yakin kau bisaa....”
Semua mulut membuka, bersorai dengan semangat, menggemuruhkan dukungan untuk orang-orang yang sedang berlaga di lapangan bawah sana. Arena GOR kian padat, mengingat ini adalah pertandingan final.
Angka berwarna merah tertulis besar di papan elektronik, menggantung diatap GOR. Tepatnya di sisi kanan dan kiri para suporter yang sedang beradu. Di sana jelas menunjukkan : 26-23, 0:17. Hanya beberapa detik lagi pertandingan akan berakhir namun skor itu tak juga bertambah-tambah dari dua puluh detik yang lalu. Nampaknya lawan suporter SMA Negara, jelas bukan apa-apa. Malam ini warga sekolah memang diwajibkan untuk melihat tim basket sekolah berjuang. Hanya tinggal beberapa detik lagi, kemenangan berhasil mereka raih.
Tatkala bola melambung dari titik three point menuju ring, sentakan peluit wasit menggema, menyebabkan bola yang akhirnya masuk itu tak bernilai apa-apa. Para pemain berseragam merah itu mendesah. Padahal hanya limit satu detik, maka harapan mereka bisa terajut lagi. Wasit berbaju senada juga nampak terlihat frustasi. Tetapi para pejuang berseragam biru justru mengulum senyum kebahagiaan. Mereka saling berangkulan satu sama lain dan siap menyambut trophy kemenangan beserta seluruh kebanggaan yang mungkin sudah tak dirasakan lagi oleh mereka setelah ini.
Benar sekali, yang berjuang hari ini pasukan kelas tiga. Pelatih sengaja memberi kesempatan pada mereka untuk yang terakhir kalinya.
***
Virza memberanikan diri untuk melangkah masuk ke basecamp pemain. Begitu ia sampai di ambang pintu, berpasang-pasang mata langsung memandanginya. Sebagian kaget, sebagian heran. Sebagian lagi tersenyum jail menyaksikan seorang gadis -yang cukup bisa memperbaiki atmosfer batin sedang ada di kubangan apek macam begini.
"Waduh... Ken Dedes Ka-We dua...," celetuk salah seorang dari mereka.
"Mulus... -"
"Setan!!" seru seseorang lain berambut cepak seraya melempar kaosnya kepada dua orang -yang baru saja berceletuk- yang memang duduk berdekatan, "Itu temen gue geblek! Awas aja kalian!!"
"Eee... Anton ada, Lex?" tanya gadis itu pada orang yang kini telanjang badan menyebabkan lekukan tubuhnya terlihat.
"Ada, kamu nunggu di luar aja, tak panggilin Anton-nya. Daripada dilahap sama nih kunyuk-kunyuk," ujar Alex yang kemudian berdiri. Virza mengangguk takzim.
"Sialan... mentang-mentang bisa masukin bola untuk pertama kalinya udah gaya!" timpal Galang -orang yang menggoda tadi- dengan bibir mengerucut.
"Yahh... pusing deh kalau disangkut-pautin sama yang satu ini! Terserah, deh!" sahut Alex mengalah, bergegas mencari Anton. Semua tak sadar jika Virza sudah ngeloyor keluar sejak tadi.
***
Gadis berpakaian serba hitam itu menggigit bibir, menghentak-hentakkan kakinya untuk mengusir suasana sepi.
Beberapa detik kemudian orang yang ia tunggu akhirnya keluar dengan kaos oblongnya. Terlihat gurat kelelahan tergores di wajahnya.
“Kamu nekat?” tanya pemuda berambut lebat itu heran. Namun Virza hanya sanggup nyengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Roman pour AdolescentsJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...