Kantin SMA Negara pagi ini sepi. Tak seperti biasanya –yang pada jam pelajaran saja, kadang-kadang ramai. Di sebelah utara, berjajar lima pedagang yang menyediakan berbagai menu makanan yang berbeda. Ada sekat berupa tembok yang memisahkan pedagang kantin satu dengan kantin yang lain. Di setiap sub kantin terdapat spanduk yang berisi menu makanan dan nama kantin yang tertempel di belakang-atas tembok masing-masing. Sekilas kantin tersebut memang lebih bisa disebut food court.
Anton mengaduk-aduk es campur dengan sedotan, pikirannya menatap ke awang-awang mengingat segala hal yang membuat hatinya sedikit resah.
“Nglamun aja looo!!” seru seseorang sedikit menyentakkannya. Ia pandang Alex yang sedang duduk seraya terkekeh dengan muka datar.
“Nggak keget, ya? Yah...,” ujar Alex dengan nada garing.
“Ada juga jantungan, Lex!” sahut Anton yang membuat Alex nyengir.
“Ngapain, Pak...? Galau, ya? Payah!” seru Alex seraya menyerobot minum Anton tanpa peduli pada pemuda itu.
“Tau aja. Mana dua minggu lagi kita harus try out, belum belajar ini-itu, urusan lain belum kelar, yang lain tambah... aahh. Pusing!!” jelas Anton mengacak-acak rambutnya.
“Sante aja, keles. Elo yang rangking satu sejagad SMA aja kayak gini... gimana gue?” sahut Alex seraya menyerahkan gelas besar –yang isinya setengah tandas– kembali ke tempatnya.
“Itu nggak ngaruh kalik! Yang jadi masalah –lagi, pikiran sama perasaanku semakin memburuk,” ujar Anton yang kemudian menyeruput es campurnya.
“Apaan? Virza?” tanya Alex menyelidik.
Anton tak segera menjawab.
“Salah satunya.”
“Halahh... makanya jangan cari urusan sama cewek! Ribet kan, tuh!” cetus Alex seakan menunjukkan kebanggaannya.
“Iya deh yang jomblo berprinsip,” celetuk Anton, “Tapi kalau masalah yang itu mah rada kecil, Lex.”
“Emang masalah loo ada berapa mbeell!!?” seru Alex histeris. Sebagai teman yang selalu baik, ia ikut frustasi melihat keadaan Anton yang sedang melankolis.
“Gak tau!” jawab Anton sambil mengendikkan bahu. Alex putus asa sambil menepuk jidat.
“Ah, udah, lah. Kalau mau curhat buruan gi nggak usah bertele-tele,” tukas Alex langsung ke inti.
Anton mulai berujar. Mengeluarkan apa pun yang ada di dada, perasaan otak, pikiran, dan mana pun pada diri Anton. Alex sendiri merasa punya pekerjaan baru : menjadi tempat sampah para penggalau. Sial. Dalam hati ia berdecik pahit, walau tak bisa untuk tidak bersyukur. Karena baginya, bahagia orang lain juga bahagianya.
Setelah berpanjang-lebar Alex bersabda dan berusaha memberi solusi, Anton akhirya paham. Sedikit tercerahkan dan sedikit tahu apa yang harus dia lakukan. Diskusi di antara mereka usai bertepatan dengan berdentangnya bel masuk istirahat pertama. Anton tertawa puas seraya menyalami Alex dengan penuh rasa terimakasih. Setidaknya Anton merasa lebih baik sekarang. Tidak seresah tadi, ketika masalah TO, ujian, kekhawatiran tidak bisa melakukan yang terbaik untuk Papa-Mama, dan juga masalah dia dengan Virza, berjejalan memenuhi otaknya. Walau mereka baik-baik saja, entah mengapa ia merasa bermasalah dengan gadis itu. Sedikit terbebani atau justru merasa apa... dia tak tahu bagaimana harus menyebutnya.
***
Setelah berjam-jam sosialisasi itu berlangsung, penghuni ruang meeting room akhirnya bubar. Beberapa orang berwajah dewasa dan cerdas telah berjajar di luar tatkala pasukan berseragam putih abu-abu itu keluar dari ruang pertemuan. Mereka tersenyum, saling bertegur sapa, bahkan bersalaman. Dilihat dari kulit, ada yang berbeda di antara mereka. Pemuda-pemudi berkemeja merah itu tampak lebih cerah kulitnya seperti telah lama tinggal di tempat yang lama tak tersinari matahari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Teen FictionJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...