Tanpa merasa jenuh, Virza memandangi halaman perpusda yang begitu rimbun. Kompleks itu dibatasi pagar tembok dan berhadapan langsung dengan jalan raya. Di jalan yang seramai itu, suasana sekitar tetap tentram karena kondisi lingkungan yang menyejukkan. Pohon akasia menaungi kanan-kiri jalan. Terdapat empat jalan —dua jalan ke selatan dan dua lagi ke utara. Lalu lintas yang cukup teratur karena pengguna kendaraan bermotor dan pejalan kaki menempati lintasan masing-masing. Empat jalur itu dipisahkan oleh trotoar dan deretan pohon-pohon yang tidak terlalu besar. Virza menghela napas. Sebentar lagi ia akan meninggalkan lingkungan yang seperti ini.
"Thanks ya, Vir. Sori lama banget!" ujar pemuda yang baru saja muncul itu kemudian menduduki kursi panjang di sebelah Virza. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk. "Pulang kapan?" tanya Imam kemudian.
"Aku kok males pulang, ya?" sahut Virza seraya menerawang ke langit Bantul cerah.
"Yaudah nanti aja," kata Imam yang membuat Virza terkikik.
Kenapa, ya? Lucu aja.
"Mam...," panggil Virza sendu. Pemuda yang baru saja merapikan bajunya itu menoleh. Mendapati wajah Virza mendung, dahinya berkerut. Gadis itu menoleh kepadanya tapi terlihat jelas bahwa pandangan matanya tak sedikit pun ke sana. "Aku kaya anak kecil banget, ya?" lanjut Virza yang membuat Imam ternyuh sebentar. Imam kemudian melepaskan pandangannya ke langit. Ia tahu arah pembicaraan Virza.
"Emang," jawab Imam yang membuat Virza makin tertohok. Ia kembali memandangi langit dengan raut sedih.
"Terus aku harus gimana?" tanya Virza yang membuat Imam terkekeh kecil. Dan itu terdengar menyebalkan.
"Jadi dewasa, dong!" sahut Imam seraya menyenderkan tengkuk ke kursi dan menumpangkan kaki kanannya ke kaki kiri. Tangan kirinya terlentang di sepanjang leher kursi. Sayangnya, Virza tak bersandar di sana.
"Nggak tahu gimana caranya jadi dewasa," jawab Virza yang membuat Imam tersenyum, entah apa maksudnya.
"Dewasa itu tahu apa yang harus dilakukan. Tahu apa cara yang tepat untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Dewasa itu memahami, bukan pengen tahu. Dan dewasa itu kalau suka sama orang...," ujar Imam menggantung. Senyumnya tersembunyi di balik seringainya. Bahkan Imam tak tahu bahwa gadis di sampingnya kini menatapnya serius. "Bakal ikhlas, nyerahin semuanya sama takdir. Dia nggak mikir gimana-gimana. Nggak mikir akhirnya gimana. Karena, dia udah tahu apa yang harus dia lakuin buat perasaannya. Dewasa itu tahu ke mana rasa sayangnya itu akan bermuara."
Virza merasakan sebuah kesejukan menyirami batinnya. Mendengar apa yang dikatakan Imam membuat hatinya tersayat. Bahkan sekarang, ia ingin menangis.
Pemuda itu menoleh, tatapannya melembut. Segaris senyum ia sunggingkan, membuat ujung mata Virza meluncurkan setitik cairan hangat. "Kamu dari hati banget ngomongnya. Pengalaman, ya?" ujar Virza dengan suara bergetar seraya menampar lembut wajah Imam.
"Ihh... mewek...," Imam menurunkan kakinya seraya mendekat kepada Virza. Gadis itu berusaha mengelap air matanya yang semakin lama semakin melimpah ruah. Sedangkan Imam justru tertawa sambil menatapnya heran. "Lo kenapa mewek, ha?" tanyanya seraya menepuk-nepuk pipi Virza. Gadis itu terus saja menangis sambil geleng-geleng kepala. Ia tersenyum sambil menyingkirkan tangan Imam, seakan berkata bahwa ia baik-baik saja. "Gue dosa banget udah ngebuat elo nangis."
"Nangis bahagia," sambung Virza sambil tersenyum. Kini ia berhasil menghentikan luncuran air mata. Namun tawanya masih bercampur dengan keterharuan.
"Lo boleh suka, bahkan sayang sama Anton. Tapi, lo jangan lupa sama diri lo sendiri," kata Imam melanjutkan. "Kita juga punya hak buat disayangi diri sendiri."
Virza mengangguk-angguk cepat. Matanya berkaca-kaca lagi. Melihatnya Imam segera bergerak. "Udah yok ah pulang aja, lu mewek mulu, sih. Lama-lama banjir ni perpus."
Virza terkekeh. Ia ikut bersiap dan segera menyusul Imam yang sudah terlebih dahulu berjalan menuju tempat parkir. Baru saja ia mengeluarkan kunci, benda itu dengan cepat direbut Imam. "Gue aja," kata pemuda itu seraya menancapkan kunci, sigap untuk mengeluarkan motor. "Gue nggak mau lo nyeburin gue ke empang gara-gara lo nggak fokus," jelasnya yang membuat bahunya diserbu dengan pukulan beruntun. Tak mau tersiksa lebih lama, Imam segera melajukan motor Virza, membelah jalan raya dan pulang.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan ketika Anton masih berkutat dengan buku-bukunya. Sebenarnya ia ingin mengakhiri semua ini sejak tadi. Tapi karena Kak Usman belum juga pulang, ia memutuskan bertahan, menunggu sampai Kakak lelakinya itu sampai di rumah.
Tak tahan oleh rasa kantuk, Anton meraih ponsel di rak yang sudah semenjak tadi siang ia matikan. Begitu ia berhasil menyalakan benda persegi panjang itu, masuklah belasan sms dan pemberitahuan panggilan tak terjawab. Dari nomor yang sama, dengan pesan masuk yang berbunyi sama. Membacanya, Anton tergerak untuk segera meraih jaket dan kunci motor.
Kak Usman — butuh bantuan.
"Kakak di mana?" tanyanya lirih seraya membuka pintu kamar kedua orangtuanya pelan. Terlihat ibunya telah tidur nyenyak, sementara sang ayah masih tidur di atas sofa. Ia melewati ruang tengah menuju garasi dengan mengendap-endap. Terdengar di seberang sana bahwa kakaknya tersengal, tampak gaduh, membuat jantung Anton ikut terpacu.
"Kompleks rambutan dua. Jangan bilang siapa-siapa dulu," sahut Kakaknya terburu. Segera setelah itu panggilan diputus. Setelah menutup pintu garasi, pemuda jangkung itu segera menyalakan mesin motor dan tak tanggung-tanggung untuk melajukan motornya secepat mungkin. Ia singkirkan dulu segala pemikiran buruk dan kacau yang membayangi kepalanya. Ia tidak bisa sedikit pun tenang. Jika Kak Usman sudah meminta bantuannya, ini artinya, apa yang dihadapi pemuda itu memang sangat sulit.
Sepelik apapun masalah Kak Usman, ia selalu menyembunyikannya dari Anton. Ia tak pernah mengizinkan adiknya ikut memikirkan masalah yang tak sepantasnya dipikirkan. Cukup ia saja yang sulit. Pernah satu kali Kak Usman mengirimkan sms seperti itu lima tahun yang lalu, yakni ketika sang Kakak menjadi korban tabrak lari. Tak ada yang menolong, bahkan dirinya sendiri pun tak bisa. Di keadaan yang terdesak seperti itu, barulah Kak Usman minta tolong kepada Anton. Hal yang membuat Anton tidak bisa tidak untuk mencintai Kakaknya dengan sepenuh hati.
Jalan raya masih ramai, tapi gang yang dilewati Anton sudah lumayan sepi. Lampu-lampu di sekitar tak cukup terang bahkan ada beberapa yang mati. Sampai di tempat yang dimaksud sang Kakak, Anton berhenti dan mengeluarkan ponsel. Tangannya sudah gemetar karena khawatir.
"Kakak di mana?"
***
an :
yaaa! kembali lagi. apa ada yang baca? hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Novela JuvenilJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...