Sudah cukup lama Anton memandangi diri sendiri di depan cermin. Rambutnya kian menebal, pipinya pun sekarang tidak kempot-kempot amat.
Jadi ingat dulu –ketika dia masih kempot, Anton berjuang sekuat tenaga untuk menambah berat badannya. Dulu ia sedikit cungkring, tapi sekarang lumayan berisi. Itu semua berkat pengaturan makan dan latihan yang benar. Jujur, ia dulu adalah anggota tim basket yang selalu menyalahi aturan. Bolosan, cuek, EGP, dan berangkat latihan seenak sendiri. Ia tersenyum geli, kemudian mendaratkan peci putih di atas kepalanya.
Biarkan, saat ini Anton ingin patuh, ingin berusaha menjadi muslim yang baik. Apalagi dia sangat butuh Tuhan sekarang. Memang sih, Ujian dan UMPTN menjadi inti dari doanya. Namun sekarang dia sadar, ia memang harus dekat dengan Sang Penguasa. Dan ia sempat berfikir, kemana pula dia selama tujuh belas tahun ini? Sholatnya? Ibadahnya...? Terasa sia-sia.
Anton menghela nafas. Dengan segera, ia bergegas keluar meninggalkan cermin yang semenjak tadi menjadi media muhasabahnya.
“Eleh-eleh... anak Mama jam segini udah bangun? Subhanallah... udah rapi lagi! Mau ke mana, sih?” seru Mama –yang sedang sibuk menyiapkan masakan– mendapati Anton keluar kamar mengenakan peci dan koko putih. Sarung biru gaya motif samarinda juga melilit pinggangnya.
“Ke masjid, lah!” jawab Anton seraya tertawa kecil.
Bu Ira tersenyum menggoda, “Alhamdulillahanak Mama udah tobat.”
“Yah... Mama kok gitu? Anton kemarin se-maksiat itu emangnya?!” sahut Anton yang kemudian tertawa lebar.
“Yaudah sana, keburu iqamah!” seru Bu Ira yang membuat Anton segera hengkang.
Wanita berdaster panjang itu geleng-geleng kepala sambil terus memperhatikan kompornya di dapur. Ia kemudian menghela nafas, menyadari anak bungsu laki-lakinya sudah mulai beranjak dewasa. Sebentar lagi ia menyusul kakaknya. Apa dia harus sendiri lagi bersama suaminya setelah ini? Seperti keadaan sebelum dua malaikatnya datang?
Sudahlah, biarkan mereka menempuh hidup dan kesuksesan mereka sendiri-sendiri.
***
“Ton... makan dulu sini!!” seru Mama dari ruang makan.
Badan Anton seketika menegap. Ia tutup buku fisikanya untuk memenuhi panggilan Mama.
Di ruang makan, sudah ada Papa dan Kak Usman. Ia duduk di kursi yang ada di antara mereka. Baju kokonya sudah berganti dengan kaos merah bertuliskan Merapi. Benar sekali, ini hanya kaos gratisan. Namun sarung birunya masih ia kenakan.
“Kamu itu belajar, di rumah terus... apa nggak bosen, Ton?” tanya Mama seraya duduk –bergabung dengan mereka. Tangan halusnya lincah mengambil nasi dan lauk-pauk.
“Namanya juga perjuangan, Ma,” jawab Anton sambil terus melahap sarapannya.
“Dan kamu di sekolah itu punya temen nggak, sih? Kok nggak pernah ada satu pun yang ke sini selama hampir tiga tahun ini?” tanya Mama lebih lanjut.
“Punya lah, Ma,” jawab Anton membela.
“Halah, paling cuma Riana,” sambung Kak Usman.
“Enak aja. Enggak, lah!” timpal Anton tak terima.
“Terus kamu udah punya rencana belum, Ton?” tanya Papa dengan suara yang –selalu– terdengar bijak.
“Maksud Papa?” tanya Anton seraya memberhentikan pergerakan gerahamnya.
“Kuliah kamu,” sambung Papa memperjelas. Pria berkacamata itu kemudian meletakkan sendoknya tanda bahwa ia sudah menyelesaikan sarapannya.
“Ohh... udah lah, Pa!” jawab Anton dengan bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Teen FictionJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...