Dengan cepat Imam turun dari motornya, melangkah ke dalam melewati pintu garasi. Tiba-tiba langkahnya tertahan oleh lengkingan suara manusia yang saling memaki. Pemuda berkumis tipis itu melengos, membuka pintu ruang tengah dan buru-buru melewati manusia-manusia yang sedang beradu.
“Imaaaaammm!!” seru seorang pria berkemeja awut-awutan dari lantai bawah tatkala ia berhasil menaiki tangga. Imam berhenti, melampiaskan rasa tidak suka namun akhirnya melongok ke bawah.
“Kenapa, Yah?” sahut Imam bak tanpa dosa.
“Turun! Emang gitu ya hasil didikan SMA Negara?!!” gertak pria yang dipanggil Ayah itu naik pitam. Imam memandang benci Ayah-Ibunya.
Selalu saja begini. Saat mereka bertarung, selalu dia yang menjadi korban pelampiasan.
Imam melanjutkan langkah, tak memperdulikan Ayah yang malah menghujamnya habis-habisan. Terdengar Ibu juga ikut menimpali. Saling membela diri, menyalahkan, bahkan menjatuhkan. Apa mereka itu tidak memikirkan anaknya yang capai begini?
Dengan amarah meluap Imam menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia membanting tubuhnya ke kasur, menghela nafas, dan memandangi jam dinding bulat yang menggantung di atas meja belajarnya.
Sudah jam sembilan. Mungkin itu penyebab orangtuanya cek-cok malam ini.
Akhir-akhir ini dia lebih memilih untuk pulang malam. Ia bosan mendengar orangtuanya seperti itu tiap hari. Apalagi dia sudah kelas tiga. Berdiam diri di perpustakaan –atau pun tempat-tempat lain– menjadi pilihan utama baginya. Bukan untuk di rumah!
Lex ke sini! Gue butuh temen.
SMS itu langsung ia layangkan ke salah satu sahabatnya. Imam memejamkan matanya, merasakan kepayahan yang menjalari setiap lekukan tubuh dan lekukan hidupnya.
Mungkin banyak orang menyangka bahwa ia adalah orang yang sama sekali tak mengenal masalah. Tak ada yang tahu kehidupan Imam yang sesungguhnya. Di balik ke-gokil-an, ke-geblek-an, kelucuan, dan segala tingkahnya yang luar biasa berhasil mengundang tawa banyak orang, tak ada yang tahu jika sebenarnya...ia tak pernah memiliki kesempatan untuk tertawa. Kesempatan untuk bahagia lebih tepatnya.
***
“Oke, makasih ya, Tante,” ucap pemuda ber-jersey biru gelap seraya berjalan menaiki tangga. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu kamar yang di depannya tertempel stiker besar bertuliskan Ambalan Family. Di stiker itu juga ada foto para anggotanya. Alex cukup tahu bahwa ia terlampau sering melihat mukanya di stiker itu.
“Ngapain lu, Bray!?” seru Alex mendapati Imam menenggelamkan kepalanya ke kasur dengan loyo.
Alex menduduki kursi belajar Imam, memutar kursi itu agar menghadap kepada sang empu. Tampak bahwa makhluk yang tidak bersemangat itu tergerak. Ia sumringah mendapati Alex sudah ada di hadapannya.
“Gembel! Lu lama amat!” seru Imam seraya melemparkan bantal –yang semenjak tadi menjadi pereda kepayahannya– pada Alex.
“Ya sori... kayak nggak tahu orang malem mingguan aja,” jawab Alex yang akhirnya terkekeh.
“Gile bener... sekarang malem mingguan segala?!” sahut Imam terkesima sampai bangkit dari tidurnya.
“Arisan, oon! Lu kira ngapain?” tambah Alex menerangkan.
“Sialan... aku kira udah punya...,” kata Imam dengan nada dibuat menggantung.
“Emang ada yang mau sama gue?!” cetus Alex menyadari apa yang Imam mau.
Benar, pengakuan ke-jonesan-nya.
“Bagus. Jomblo yang jujur,” puji Imam tersenyum najong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Teen FictionJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...
