“Liat tuh! Masih ngarep aja lo? Kayaknya mereka lebih cocok, deh!” ujar Firman mengompori Anton yang sedang menatap pemandangan di sebrang pagar besi lapangan basket dengan mata nanar. “Sama-sama orang kaya i mean.”
Anton tak menggubris perkataan Firman. Ia mendengar dengan jelas, dan seharusnya memang seharusnya ia sakit hati. Tapi karena terbiasa menghadapi mulut Firman yang sangat pedas luar biasa, ia jadi biasa. Bahkan sudah kebal terhadap kata-kata Firman yang selalu blak-blakkan, pedas, atos, dan tak sedikit pun peduli dengan perasaan orang. Tapi Anton bisa mengerti, karena tentu, kebersamaan mereka sudah terlalu lengket.
“Yang tabah ya, sob!” ucap Firman sambil menyeringai, menepuk-nepuk bahu Anton kemudian berlalu.
Anton tetap tak bergerak, masih saja memandangi Virza dan Imam yang sedang berdua di kantin yang terletak di sebelah lapangan basket. Ia menelan ludah. Terlihat bahwa Virza sedang bercerocos panjang lebar, dengan Imam hanya sanggup tersenyum tipis, dengan pembawaan yang tenang, sesekali tertawa kecil menanggapi ocehan Virza. Anton menghela napas. Mungkin ia memang terlalu berani. Terlalu tidak mengaca dan terlalu percaya diri. Tapi salahkan? Bukankah rasa tak memandang dari sisi mana ia datang? Bukankah perpisahan cinta akibat tahta, harta, atau sejenisnya adalah fenomena kuno?
Masalahnya Anton tidak tahu, yang ada padanya itu adalah cinta atau hanya kagum dan nafsu semata?
Yang jelas Anton sayang, ingin sekali menjadi orang yang berarti baginya. Bagi Virza.
Hah. Kenapa ia jadi memikirkan hal semacam ini?
“Oke! Saya anggap pelajaran kali ini selesai. Masih sisa sepuluh menit, terserah kalian mau ganti atau masih mau main. Saya pamit dulu ya!!” teriak suara cempereng dari tengah lapangan yang membuat Anton mengalihkan matanya kepada seorang wanita tua –guru olahraga yang tak lama kemudian bergegas pergi.
Anton memilih untuk berlari ke tengah lapangan, bergabung dengan teman-teman yang beberapa menit lalu ia tinggalkan. Ia alihkan perhatiannya, berusaha mengabaikan apa yang baru saja melayang-layang di kepalanya.
Anak-anak kelas XII IPA 1 terlihat masih antusias di lapangan –mungkin akan terus menghabiskan jam pelajaran olahraga mereka sampai benar-benar habis. Terlihat bahwa yang bergerak adalah anak laki-laki. Meskipun beberapa siswa putri juga ikut nimbrung ikut bermain, namun yang tidak ikut lebih banyak tentu saja. Sebagian besar memilih untuk berteduh dengan obrolan mereka masing-masing.
Windi lebih memilih untuk menjauh, melangkah meninggalkan mereka hendak kembali ke kelas. Ia pun sampai tak pamitan dengan karibnya karena Wenda terlihat sedang asyik bermain voly dengan beberapa teman putri yang lain. Lebih bagus seperti itu, pikir Windi. Ia bisa menjalankan misi tanpa halangan apa pun. Tak terasa bibir tipisnya melengkungkan senyuman dengki.
Sampai di kelas, Windi segera berjalan menuju meja seseorang –yang dengan teliti ia pastikan bahwa meja itu adalah meja orang yang ia maksud. Tangannya mengambil botol air mineral dari tas –yang ia berharap tidak salah. Ia buka tutup botol itu dan mengeluarkan sesuatu dari saku celana olahraga yang ia kenakan dengan perlahan.
“Hahah... rasaiiinn! Makanya nggak usah menye-menye. Sakit karena ini bukan apa-apa tau nggak!?” gumamnya seraya menaburkan serbuk entah apa ke botol minuman yang ia yakini adalah milik Juna. Setelah menutup botol itu dan mengembalikan ke tempat semula, Windi tersenyum puas.
Dengan cepat, ia berjalan ke tempat duduknya yang terletak di kursi paling belakang pojok, bersikap seakan ia tak tahu apa-apa dan tak terjadi apa-apa.
Windi sadar setengah mati bahwa apa yang baru saja ia lakukan adalah sebuah kejahatan. Tapi peduli apa dia? Bahkan orang yang dijahati itu juga tak pernah memikirkan kejahatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Teen FictionJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...
