Sudah sekian lama kakinya berdiri di tempat itu. Dia pun tak tahu apa yang sebenarnya dia tunggu. Adalah sesuatu yang bodoh memang, tapi entah mengapa kepercayaan bahwa pemuda itu akan datang terlalu terpancang kuat dalam hati dan otaknya.
Angin berhembus. Bulu kuduknya berdiri disebabkan hawa yang dibawa belaian itu terlalu dingin untuk menembus pori-pori kulitnya. Bahkan sekarang, langit justru tak memberinya ampun. Tampaknya sang atap dunia juga sudah bosan melihatnya berdiri di sana sehingga menumpahkan butiran-butiran airnya untuk mengusirnya, agar wanita berkemeja merah muda itu enyah dari tempatnya berdiri saat ini.
Mata Virza mulai sembab mendapati langkah kaki seorang yang ia nanti belum juga terdengar dari kejauhan. Hatinya memang terlalu luluh pada pemuda bermata tajam itu. Kenapa? Apa dia benar-benar tidak datang?
“Sampai kapan kamu mau begini, Vir?!!” ujar seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Terdengar nafasnya terengah-engah. Benda yang ada di tangannya membuat tubuhnya terlindung dari terjangan hujan yang sebenarnya sudah membuat sekujur tubuhku kuyup.
“Kamu fikir Anton peduli? Ke sini nemuin kamu untuk yang terakhir kali?!” gertak Imam yang kini terasa dekat di telinganya. Kata-kata itu membuat dadanya kian sesak. Matanya makin sembab membuat daerah di sekitar indra penglihatannya terasa hangat.
“Aku percaya dia akan ke sini, Mam. Percaya banget,” sahut Virza dengan suara bergetar. Terdengar Imam melengos. Ia tampak frustasi menghadapi sikap Virza yang seperti ini.
“Bahkan dia nggak pernah sekali pun ngertiin kamu, Vir! Emang dia pernah bicara sesuatu tentang kamu? Enggak!! Apa seperti itu orang yang kau anggap sayang sama kamu!?” teriak Imam yang kini tubuhnya tak berada di samping Virza. Beberapa detik yang lalu tubuhnya tergerak ke hadapan gadis berkucir yang semenjak tadi hanya mampu merenung. Kini yang ada di hadapan mata bening Virza tak lagi jalan yang membelah di sepanjang bandara, melainkan bibir tipis Imam.
Air matanya meluncur, menggantung di dagunya dan akhirnya menetes, terjun bercampur dengan air hujan. Virza menunduk. Kini dada bidang Imam yang jatuh di retinanya.
“Dia sayang kok Mam sama aku...,” ujarnya dengan bibir bergetar, “Dia sendiri yang bilang... di lereng itu, waktu dia di Festival, di kafe, waktu dia....”
Air matanya deras menitik. Ia sudah tak kuasa melanjutkan. Bahkan apa yang baru saja dia katakan itu sepenuhnya hanya hasil dari kesimpulan yang ia buat sendiri.
“Plis Vir... jangan kayak anak kecil lagi,” kata Imam seraya meletakkan tangan kirinya ke bahu kanan Virza. Secara tidak langsung, Imam memaksa tubuh Virza untuk berbalik, mengikuti langkah kakinya membelah hujan yang kian lama kian deras.
Setelah keputusan penundaan penerbangan itu didengungkan beberapa jam yang lalu, Virza memutuskan untuk ke tempat ini. Melakukan hal bodoh yang bisa dibilang sangat sia-sia. Imam memandanginya yang masih tersedu. Ia nampak prihatin, tapi Virza tak juga peduli dengan dirinya sendiri.
“Berhentilah mengharapkannya, Vir. Masih ada tantangan hebat yang menanti di depan sana. Bukankah kau juga ingin menakhlukannya? Seperti janjimu pada kami... pada Anton juga,” ujar Imam yang membuat Virza menghela nafas berat.
Benar sekali. Imam benar, ada tantangan yang harus ia takhlukkan saat ini. Bukan untuk memikirkannya, meratap, apalagi menangis seperti ini. Entah mengapa tangan Imam jadi terasa hangat di bahunya. Bahkan pemuda atletis bernama Anton itu tak pernah memperlakukannya sedekat ini.
***
Bacot Sesion~
Tadaaa... apa kesan anda sekalian terhadap awalan ini?
Aneh? Belibet? Cepet bosen? Atau gimana?
Yahh... saya cukup tahu kalau ini... tidak terlalu buruk *elah* masalahnya baca tulisan sendiri. wkwkwk. Sooo... in your point of view...?
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Teen FictionJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...