Dengan amarah yang masih mengepul, Imam menggeret tangan Niki ke lorong yang terletak di antara ruang kelas dan pagar tembok sekolah. Dengan kekuatan yang juga memaksa, Niki berusaha melepaskan cengkeraman tangan Imam sambil terus mengumpat Imam habis-habisan.
“Lepasin!!” seru Niki yang akhirnya berhasil menarik tangannya.
Langkah Imam terhenti, menghadap gadis berkucir tinggi, dan menatapnya dengan penuh geram.
“Lo baru masuk sini aja udah cari masalah,” ujar Imam dengan tangan mengacung di wajah Niki, “Pasti lo berulah sekehendak lo, kan? Denger ya... di sini nggak bisa seenaknya seperti sekolah lo yang ada di Jakarta. Kalau lo nggak terima buat diatur, balik aja sana... mati sekalian!”
“Ya bermasalah gue, kan? Kenapa elo sewot!?” timpal Niki dengan mata melotot. Wajahnya didekatkan ke wajah Imam –yang jelas jauh lebih tinggi darinya– seakan menantang.
Imam tak menyahut lagi. Ia melepas pandangannya dari mata Niki denganmalas.
“Dan elo ke mana aja, sih? Mama lo sama Papa nyariin lo tau nggak? Mikir, dong!!” tambah Niki yang kini membuat Imam terdiam, “Okee... gue aduin ke Papa!” ancam Niki seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku rok abu-abunya.
Saat ia hendak memencet BB hendak mengadakan panggilan, dengan gesit Imam merebutnya. Gadis itu langsung menjerit sambil berusaha meraih ponselnya yang sekarang diangkat tinggi-tinggi oleh Imam.
“Siniin!!” seru Niki sambil melompat-lompat berusaha meraih ponselnya. Imam tak memberikannya malah memasukkan benda putih itu ke dalam baju lewat kerahnya yang terbuka.
“IIHHHH!!” teriak Niki merasa jijik dengan apa yang Imam lakukan.
“Benda ini mengancam kelangsungan hidup gue. Jadi harus diisolasi,” terang Imam sambil melangkah meninggalkan Niki.
Yang ditinggalkan masih menganga dengan kening bertaut. Ia langsung bergegas menyusul Imam dengan memaki-maki penuh rasa emosi. Imam tak juga menanggapi karena sekarang ia benar-benar hilang dari pandangan Niki.
***
Dengan nafas penuh ketenangan, Anton berjalan menyusuri koridor dan berbelok tepat ke dalam kelasnya –XII IPA 1. Tampak bahwa kelasnya itu terdengar lebih gaduh dari biasanya. Ia memandang jam bulat yang menggantung di dinding belakang. Masih jam setengah tujuh, dan itu waktu yang masih lumayan pagi. Kenapa tumben anak-anak sudah banyak yang berangkat?
Alis Anton bertaut saat melihat seorang pemuda dengan wajah berandal sedang duduk di atas meja, mengobrol heboh dengan teman-teman kelasnya. Beberapa detik kemudian, bibirnya menyunggingkan senyum, berjalan mendekat ke pamuda itu.
“Man! Kok tumben kamu sampe sini?” tanya Anton seraya menepuk bahu Firman –anak kelas XII IPA 4, partner in crime-nya dulu waktu kelas sepuluh.
Yang ditepuk langsung menoleh dengan dahi bertaut. Setelah tahu siapa orang yang baru saja datang, pemuda berwajah keras itu langsung sumringah, “WOO!! Gue tungguin dari tadi ahh!!” sambutnya seraya turun dari meja, mendekap Anton dengan tepukan persahabatan seakan melepas rindu satu sama lain.
“Nungguin aku?” tanya Anton heran.
Firman mengangguk mantap, “Anjir banget semua guru di sini. Kayaknya mereka dendam sama gue, deh. Dengan alasan kebadungan gue masak dipindah di kelas ini. Sial banget nggak, sih? Kabar-kabar anak-anak di sini nggak seru semua ya?” terang Firman dengan memelankan pertanyaan terakhir. Anton langsung tertawa kecil.
“Itu relatif, sih. Aku sih enjoy aja. Malah bersyukur ditempatin di kelas ini,” jawab Anton kalem. Firman langsung mengangguk-anggukan kepalanya –entah tak tahu apa maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting You
Teen FictionJikalau hidup itu selalu akan menemui bahagia di akhir, kenapa Virza tidak? Terjebak pada seseorang yang membingungkan itu nggak enak, kesel, susah, pusing, galau, bahkan ia sendiri pun jadi ketularan bingung. Anton bukan pemuda yang memiliki kelai...
