#9 Dan Kenapa?

268 12 0
                                    

Deru motor Revo memelan tatkala tiba di depan rumah minimalis bergaya Roma kuno. Virza turun dari motor Anton, memajang senyum lebar, seraya mengatupkan kedua tangan penuh rasa hormat.

“Makasih ya, Ton. Aku nggak nyangka kamu ngajakin aku makan bareng,” ujar Virza yang membuat Anton terkekeh.

“Yah... sekali-kali sih nyenengin orang. Pahala juga, kan? Apalagi nyenengin...,” perkataan Anton menggantung, membuat Virza memandangnya menyelidik.

“Apaan!?” sahut Virza dengan wajah bersungut-sungut.

“Udah deh sana... udah telat banyak, kan?” terang Anton yang membuat Virza tersadar.

“Ohh... iya! Makasih ya, Ton... Daaaa!!” ucap Virza terburu-buru.

Anton tersenyum saat Virza berlari cepat memasuki halaman rumah yang Virza bilang adalah rumah Mbak Sirin –guru les atau pun privat entahlah. Setelah itu Anton juga ikut pergi. Ia memacu motor pelan, sedikit menyunggingkan senyum di sepanjang jalan karena suasana hatinya sedang baik mendekati sangat.

Sebelum lo mau terjun ke kubangan atau pun habitat lo... mending lo nyenengin Virza dulu, deh. Kasih dia sesuatu yang berkesan lah... sebelum lo nggak punya kesempatan karena sibuk menuhin pacar lo itu, alias pelajaran!”

Itu kata Alex tadi pagi saat di kantin. Sampai sekarang pun Anton heran, Alex itu sedikit pun nggak punya pengalaman sama cewek. Tapi tadi pagi seakan-akan dia udah ahli di bidang seperti itu. Tapi sudahlah, kondisinya sekarang jauh lebih baik. Dengan begini ia bisa belajar tanpa gangguan dan pikiran yang bercabang-cabang. Sekarang ia bebas memeluk buku-bukunya. Syukur, lah.

***

“Loh, Vir? Imam mana?” tanya Mbak Sirin tatkala Virza memasuki ruangannya seorang diri.

Tangan Virza yang hendak menutup pintu setengah kaca itu langsung terhenti. Ia menatap Mbak Sirin dengan kening berkerut.

“Imam belum ke sini?” tanya Virza justru balik bertanya.

Gadis berblazer merah maroon itu menggeleng, membuat rambut panjangnya yang tergerai miliknya sedikit tergerak.

“Hah? Kok bisa?” ujar Virza heran seraya melepas sepatu hitamnya. Dengan tatapan bertanya, ia duduk di depan Mbak Sirin. Padahal ia sudah telat setengah jam lamanya. Tumben sekali Imam belum sampai, biasanya sepuluh menit sebelum les dimulai, anak itu sudah dengan khusyuk membuka buku dan menggerakkan penanya. Tapi sekarang? Aneh.

“Duh... aku tanya rumahya, kata Mbak Ana dia juga bingung. Jawabannya nggak jelas gitu. Nih, sms-nya malah apa nih...?” tambah Mbak Sirin dengan raut khawatir. Matanya fokus ke layar besar smartphone putih yang ia genggam. Virza menggigit bibir.

“Bentar, Mbak... aku tanyain dia.”

Virza segera melayangkan sms ke nomor Imam. Namun karena tak kunjung dibalas, Virza memutuskan untuk menelponnya.

Nihil. Bahkan panggilannya pun tak dijawab.

Menyadari bahwa Imam tak pernah seperti ini, Virza jadi cemas sendiri. Ia menggigit bibir, terus menggerakkan jarinya, melayangkan pesan yang sama berulang-ulang.

Mam kamu di mana? Dicariin Mbak Sirin... dia khawatir

***

Dengan sukses, setetes peluh meluncur dari dahinya. Imam meringis, menahan rasa sakit yang terasa amat mencekam hati dan perasaannya. Ia sadar satu hal, sakit luar bukan apa-apa ketimbang sakit dalam. Dan saat ini ia merasa sakit dalam. Ia merasa payah, merasa bahwa selama delapan belas tahun ini, ia benar-benar tak diberi kesempatan untuk merasa disayangi apalagi dicintai.

Forgetting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang