Hal manis pertama yang kudapatkan di apartemen adalah meja yang dipenuhi oleh makanan kesukaanku. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu dari mana pria itu mendapatkan informasi tentang makanan kesukaanku. Aku hanya tahu satu hal: aku lapar.
"Letakkan kopermu dulu baru makan. Kau juga belum cuci tangan. Kenapa kau jorok sekali?" Sindir Ethan.
Aku berhenti makan sejenak dan mendadak selera makanku hilang.
"Begini yah tuan Ethan. Pria yang manly pasti tahu diri untuk membawakan koper seorang wanita," tukasku dingin.
Ia malah melipat tangannya. "Nona Lin, aku bukan pembantumu. Kau masih punya dua tangan dan dua kaki yang sehat. Jadi lalukan saja sendiri."
Astagaaa kenapa aku bisa bertemu dengan pria seperti ini
Aku menarik napas dalam-dalam karena emosiku yang mendadak naik
"Kau tidak ingat dengan pasal satu ? Tuan Ethan, kedua belah pihak harus bersikap baik selama kontrak berlangsung. Kau tidak amnesia, kan ?" Balasku berusaha meredam ego.
Ia tersenyum miring. "Memangnya aku jahat padamu? Aku hanya ingin kau melakukan apa yang bisa kau dapatkan sendiri. Apa menyuruh orang untuk mandiri termasuk dalam kategori tidak bersikap baik ?"
Sh*t! Mulutnya Benar-benar licin! Pria ini sungguh lincah berkelit! Terserah dia sajalah! Lama-lama aku bisa gila menanggapi ocehannya!
Sepanjang sore hingga menginjak malam, aku dan Ethan tidak banyak bicara. Saat makan pun kami hanya diam, lalu aku masuk ke kamar. Sedangkan pria itu sibuk dengan ponselnya untuk membicarakan bisnis.
Jarum pendek mulai menyentuh angka sembilan, selera makanku menurun drastis karena terjebak bersama pria yang egonya setara dengan tinggi gunung Everest itu. Aku merebahkan diri dan tiba-tiba Ethan datang dan menghempaskan tubuhnya di sampingku yang membuatku terkejut.
"Kapan terakhir kali kau melakukannya ?" Tanya Ethan datar.
"Melakukan apa ?" Tanyaku tidak paham.
Ia mendekatkan wajahnya. "Melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan bayi. Paham ?"
Aku bergidik. Kata-kata "menghasilkan bayi" terdengar terlalu horor. Wajahku memerah.
"Aku mau tidur," ucapku buru-buru menarik selimut hingga menutupi kepala.
"Jangan tidur dulu," pinta Ethan sambil menyingkirkan selimutku. Praktis kamu pun beradu pandang yang membuatku sedikit berdebar.
"Kenapa ?" Tanyaku berusaha mengalihkan fokus.
"Aku tidak terbiasa dengan wanita lain. Biarkan aku terbiasa denganmu dulu."
Aku mengerjap.
"Lalu kenapa kau melakukan hal yang tidak ingin kau lakukan ?" Tanyaku.
"Haruskah aku jelaskan lagi ?" Ia balik bertanya.
Aku menggeleng lalu duduk. Tentu saja aku tidak ingin mendengarkan cerita itu lagi. Aku cukup tahu diri untuk tidak menanyakannya. Tapi suatu saat nanti, aku yakin akan menemukan jawabanya.
"Boleh aku jujur ?" Aku malah mengajukan pertanyaan baru
"Katakan."
"Sekeras apapun kau menutupinya, tapi aku masih bisa melihat jika kau membenciku. Kenapa ?" Ucapku polos
"Karena kau telah merayuku saat pertama kali bertemu, dan karena aku terpaksa menikahimum. kau membuatku menghianati Cindy," ucapnya frontal.
Aku menghela napas. "Apalah arti pernikahan......."
"Kalau begitu, harusnya kau bisa menerima perjanjian tanpa pernikahan seperti apa yang aku tawarkan dulu," balasnya.
Aku mengangguk-angguk paham.
"Bisa saja. Masalahnya adalah kalian menginginkan bayi dariku. Jika aku tidak menikah, dan ternyata kalian menipuku, aku tidak punya jaminan atau bukti untuk menuntut hakku dan anakku kelak," ungkapku.
Ethan tertawa pelan. "Aku tahu itu berat. Karenanya imbalan diriku dan Cindy tidak sedikit. Lagipula, apa aku dan Cindy terlihat seperti orang jahat ?"
"Don't judge the book by its cover. Di dunia ini tidak sedikit kan manusia berwajah malaikat tapi berhati iblis ?"
"Tapi tidak sedikit juga yang berwajah dan berhati malaikat ? Seperti aku dan Cindy contohnya."
Aku tertawa gambar.
"Coba katakan padaku, Malaikat mana yang tega mendorong seorang gadis di lift dan menghapus nama calon mahasiswa dari daftar awardees karena masalah pribadi ? Coba jelaskan," desakku menyindirnya.
"Diamlah."
Aku mengendikkan bahu. Namun mendadak aku terkejut ketika tanganya menyentuh pipiku. Ia memangkas jarak antara kami. Aku menelan ludah.
"Darimana kau mendapatkan mata biru seindah ini ?" Tanya Ethan
Ah.... Mata lagi. Pantas saja.
Bibirku mencebik. "Tanyakan saja pada ibuku."
"Aku tidak bermaksud merayumu. Tapi bola matamu memang selalu indah. Itu yang.....," Ucapnya menggantung, mengusik rasa ingin tahuku.
"Yang ? Yang apa ?"
Ia menggeleng. "Selamat tidur."
Ethan langsung berbaring memunggungiku. Meninggalkan satu pertanyaan kecil yang berputar-putar di dalam pikiranku.
*****************
"i love you in every univers"
《ukiran tinta - Cleopatrax 🌊》
KAMU SEDANG MEMBACA
viewpoint
Teen Fiction[KARANGAN SENDIRI !] [ORIGINAL!] Jika aku analogikan , ia seperti grand piano, hitam dan putih dalam satu tempat, aku terjebak di ambivalensi dan keindahannya memukauku. Tapi di sisi lain ia dingin, rumit, dan sulit kupahami dengan segala kebenciann...