Vote vote vote!!! :D
***
Lucas calling....
David merasa -sangat- penasaran. Siapa Lucas? Entah mengapa, nama tersebut terus terngiang-ngiang di dalam memori otaknya. Rasanya tidak asing.
Tangannya kalah cepat dengan pria bernama Lucas di seberang sana yang lebih dulu mematikan panggilannya. Kali ini getaran pendek terasa di genggaman tangannya.
Bisakah kita bertemu?
Ya Tuhan.... dia semakin merasa perlu untuk menjauhkan Daisy dari pria ini.
Ketika ia berniat membalasnya dengan alasan sedang sibuk, suara high heels Daisy terdengar mendekat. Maka dari itu, David mengurungkan niatnya.
Sial.
Kekasihnya berdiri dihadapannya lalu mengambil handphone nya yang memang cepat-cepat David simpan di tempat semula. Berharap, Daisy tidak mengira dirinya bermain terlalu lama dengan ponselnya.
"Aku mau ke ruanganku ok" David hanya mampu mengiyakan tanpa bisa mencegah. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaannya untuk Daisy. Tapi tidak, dia tidak akan langsung mencurigai wanitanya.
Dia percaya pada wanitanya. Dia harus!
***
Kakinya bergerak melangkah memasuki lift, lalu menekan angka 2. Dia akan mendatangi ruangan kerja Daisy dan mengajak sang kekasih makan siang bersama.
Para karyawan sepertinya sudah berlari ke Cafetaria. Mereka seperti belum makan sebulan saja, decak David.
Dilantai 2 ini benar-benar sudah kosong. Tidak ada satupun karyawan yang masih stay duduk di depan komputer. Ck ck
David tentu tidak perlu untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan Daisy. Jadi ia langsung masuk dan bahkan nyaris berteriak, "Sayang, ayo kita ma-kan" ada jeda dalam kalimatnya karena yang dipanggil tidak ada di ruangannya. Kemana Daisy?
Dirinya sempat menebak-nebak kemana perginya Daisy. Pikiran positifnya, ia berpikir mungkin saja Daisy ke Cafetaria diajak makan siang oleh rekan kerjanya? Tapi kepalanya menggeleng. Tidak mungkin Daisy tidak memberitahunya dulu.
Lalu, pikiran negatifnya muncul. Apa Daisy pergi menemui Lucas?
Tangannya segera merogoh saku dibalik jas kerjanya. Menekan speed dial 1 yang tentu saja ia setting untuk Daisy-nya.
Dahinya mengerut heran. Tidak biasanya, Daisy lama mengangkat telepon darinya. Tidak, ia harus tetap tenang. Ia harus percaya pada Daisy dan tidak boleh menuduh Daisy asal. David memejamkan matanya erat.
Tidak diangkat.
Sekali lagi ia coba untuk menghubungi Daisy. Tiga dering terakhir, Daisy mengangkatnya.
"Daisy," dia hampir membentak. Dan karena menahannya, mungkin akan terdengar seperti geraman bagi yang mendengar.
"Y-ya?" David senang mempelajari ilmu psikologi. Ia cukup mampu dalam menilai berbagai macam sifat maupun tingkah laku seseorang. Dan saat ini, ia menilai bahwa Daisy sedikit gugup. Juga, nada ketakutan terselip di dua kata yang dikeluarkannya.
"Oh, kenapa Daisy? Apa aku menakutimu?" David merasa bersalah pada Daisy. Tidak seharusnya ia menggeram tadi.
"Tidak.." nafasnya sedikit berhembus lega. Tetapi tidak sepenuhnya, karena ia masih khawatir tentang keberadaan Daisy sekarang.
"Syukurlah... Kau dimana, sayang?" pria ini tentu berusaha untuk bertanya dengan lembut. Ia tidak mau kekasihnya takut padanya melainkan, tahu bahwa dirinya begitu menyayangi Daisy.
"Em... Aku," Daisy terbata. David tahu itu.
"Jangan lupa makan siang!" David berusaha terdengar seceria mungkin. Berpura-pura dalam kondisi baik-baik saja. Ia cukup tahu saja dan menyimpannya untuk suatu hari ia tanyakan pada Daisy. Atau, dia berharap Daisy yang menjelaskan lebih dulu sebelum ia bertanya.
Daisy menemui Lucas.
***
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
ENOUGH (TAMAT)
Teen FictionDaisy mencoba membentengi hatinya dari seorang David Dematria. Namun, David tidak menyerah dan mampu membuat Daisy lupa pada prinsipnya tersebut. Sampai suatu kesalah-pahaman membuat mereka terpaksa berpisah. Tetapi, takdir mempermainkan hidup Dais...