***
Aku keluar dari kamar mandi yang berada di ruangan David. Berjalan ke depannya yang terlihat sudah kembali sibuk dengan 'selingkuhan'nya- si tumpukan kertas putih bertinta tersebut.
Kulihat ponselku sudah disimpan di sisi yang kosong. Mungkin mengganggu konsentrasi kerjanya. Dan tadi aku memang sengaja menjahilinya. Habisnya dia terlalu sibuk membaca laporan-laporan itu.
Aku mengambil handphoneku. "Aku mau ke ruanganku ok" dan David mengangguk mengiyakan. Sedikit heran karena tidak biasanya. Apalagi aku baru -sangat- sebentar di ruangannya. Bahkan belum sampai 15 menit lamanya.
Sambil berjalan dan memikirkan tingkah David yang terasa ganjal, Betty si sekretaris menyapaku. "Daisy," aku hampir menabrak tembok sebelum balik menyapanya. "Oh, hai!" Kami saling melemparkan senyum.
Betty dan aku memang seumuran. Dia baik, cantik, dan modis. Mengingat dia yang fashionable, aku sedikit beruntung karena dia sudah memiliki kekasih yang juga tampan. Maksudku, aku bisa lebih tenang meninggalkan David dan Betty di lantai yang sama. Ya, tidak ada percintaan antara bos dan sekretaris seperti cerita-cerita yang biasa kita temukan.
Lift berdenting dan pintu lift terbuka lebar. Aku menekan angka 2 untuk lantai kerjaku yang hanya sebagai karyawan di tingkat kedua. Walaupun, David-bosku adalah kekasihku, tetapi tetap saja itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kan? Aku bekerja sesuai kemampuanku.
Drrrt Drrrt
Kau dimana? Di ruangan si bos, huh? Bahkan belum waktunya jam makan siang. Ck ck
Sena,
Sena adalah teman satu proyekku. Dia juga teman terdekatku. Orang pertama yang paling mencurigai hubunganku dengan David. Sena orang yang sangat penasaran.
Aku tersenyum mengingatnya. Lalu kubalas pesannya bahwa aku sedang dalam perjalanan ke lantai 2 kami.
Namun, saat sudah dikirim, tampilan layarnya masih menampilkan bahwa ada pesan lainnya yang kuterima. Bukankah tadi hanya bergetar untuk satu pesan saja? Oh, mungkin tadi saat aku meninggalkan ponselku dengan David.
Aku baca isi pesannya yang menanyakan kesediaanku untuk bertemu dengan si pengirim. Lalu mataku melirik nama kontaknya.
Lucas. Oh-my-God!
***
Aku memarkirkan mobilku yang tepat menghadap jendela kaca transparan dari restoran didepanku. Seseorang sudah menduduki meja paling ujung yang jauh dari pintu. Dan dia adalah Lucas.
Ya, aku memilih menemuinya. Aku pun tidak tahu mengapa. Hanya mengikuti hatiku yang menuntunku kesini. Mungkin nanti aku akan menanyakan Lucas tentang hubungannya dengan Maria. Tidak, aku bukannya cemburu atau menuntut penjelasan. Aku benar-benar sudah tidak ada rasa apapun pada Lucas selain menganggapnya sebagai teman.
Bunyi lonceng yang terdapat diatas pintu ini berbunyi saat aku membuka pintunya. Dan langsung disambut dengan pelayan yang ada.
Sedari tadi, aku tahu Lucas tidak berhenti menatapku. Lalu aku duduk di hadapannya dan terkejut saat melihat segelas ice lemon tea -kesukaanku sudah dipesannya. Dia masih ingat? Ya ampun... bahkan sudah berapa lama kami berpisah.
"Oh?" aku menyuarakan keterkejutanku. Lucas membalasnya dengan senyuman.
"Terimakasih," aku tersenyum dan sedikit menyeruputnya, menikmati kerinduanku pada minuman ini. Benar, sejak kami berpisah aku tidak pernah meminum minuman ini lagi. Karena dulu aku selalu teringat akan kenanganku dengan Lucas.
"Ekspresimu selalu sama. Rasanya kamu begitu jatuh cinta melebihi cintamu pada kekasihmu," dia mengerling. Oh, kenapa? Apa maksudnya?
"Tidak juga," aku tersenyum canggung. "Ada apa sebenarnya, Lucas?"
Dia terlihat diam sejenak. Lalu kembali tersenyum perlahan.
"Kau harus datang," dia mengeluarkan sebuah surat undangan dari dalam saku jasnya. Aku merasa tidak asing dengan bentuk surat ini.
Surat undangan pernikahan?
"Dengan kekasihmu. David Dematria, 'kan?"
Lucas Anderson dengan Maria Leandro.
***
To be continued...
Btw, bentar lagi cerita ini FINISH!
KAMU SEDANG MEMBACA
ENOUGH (TAMAT)
Teen FictionDaisy mencoba membentengi hatinya dari seorang David Dematria. Namun, David tidak menyerah dan mampu membuat Daisy lupa pada prinsipnya tersebut. Sampai suatu kesalah-pahaman membuat mereka terpaksa berpisah. Tetapi, takdir mempermainkan hidup Dais...