CHAPTER 07

314 20 0
                                    

”Aku tidak peduli dengan orang yang tidak mencintaiku, yang aku tahu hanya mencintainya. Itu saja sudah membuat aku bahagia.”

Aisha Gantara Aileen

Di sisi lain, Aisha sedang melakukan pekerjaan rumah. Kebetulan ia hari ini tidak masuk sekolah karena tidak enak badan. Untungnya Adytama tidak ada di rumah, kalau tidak pasti ia tidak diizinkan untuk tidak pergi ke sekolah.

”Kak Aris ke mana, ya? Kenapa dia belum keluar kamar udah jam setengah delapan. Apa dia tidak sekolah hari ini?” Aisha sengaja tidak melanjutkan menyapu lantainya untuk memastikan apakah Aris sekolah hari ini atau tidak.

Dengan langkah kecilnya, gadis itu menuju di mana kamar Aris berada. Awalnya ia berniat langsung masuk tanpa mengetuk pintu, tetapi dipikir-pikir lagi itu tidak sopan. Sekalipun itu kamar kakaknya sendiri.

”Kak! Apa Kakak di dalam? Kakak sekolah nggak hari ini?” Aisha sedikit berteriak bertanya kepada Aris. Namun, sayangnya tidak ada jawaban apa pun dari lelaki itu. Sudah beberapa kali gadis itu mencoba memanggilnya, tetap saja dengan hasil yang sama.

”Kak, aku masuk ya?”

Tanpa basa-basi lagi, Aisha langsung membuka pintu dan masuk. Dilihatnya Aris yang masih terbaring di atas kasur dengan tubuh yang ditutupi selimut tebalnya.

Aris masih saja setia menutup matanya, pertama-tama Aisha menggoyangkan lengan Aris untuk membangunnya. Nihilnya, Aris tidak membuka matanya sama sekali.

Ditempelnya telapak tangan Aisha ke dahinya Aris, suhunya begitu panas. Ia tampak khawatir saat mengetahui kalau kakaknya sedang sakit demam. Langkahnya bergegas keluar untuk mengambil es di dalam kulkas.

”Mau ngapain lo?” tanya Aris yang tiba-tiba membuka matanya, sehingga membuat Aisha tersentak.

”Mau ngompres kepala Kakak pakai es batu,” jawabnya seadanya.

”Jangan sentuh gue, gue nggak suka disentuh sama lo!” bentak Aris, tangan  kekarnya langsung menepis tangan Aisha kasar. Sehingga, kain berisi es itu langsung jatuh.

”Niat aku baik kok, lagi sakit pun masih aja gengsi. Kakak bisa anggap aku apa aja, pembantu, teman atau apalah. Asal biarkan aku mengompres kepala Kak Aris menggunakan ini,” jelas Aisha, lalu berjongkok sedikit untuk mengambil es dalam kain itu lagi.

”Dingin.” Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya Aris, tubuhnya mendadak menggigil kedinginan. Aisha tidak tahu harus berbuat apa.

”Kakak tunggu sebentar, ya. Aku ambil selimutku dulu buat selimutin Kakak. Biar nggak terlalu kedinginan.” Usai mengambil selimut, Aisha kembali lagi di mana Aris berada.

”Kak Aris mau makan nasi? Biar aku buatin,” tanya Aisha, mulutnya sedikit melengkung menandakan ia sedang tersenyum tipis.

”Ngapain lo senyum-senyum! Lo pasti senangkan liat gue sakit kayak gini? Pasti lo lagi berdoa dalam hati lo biar gue cepat matikan? Ngaku nggak lo!” Tak henti-hentinya Aris menanyakan pertanyaan pada Aisha.

Aisha menghela nafasnya, ”Jika aku berharap Kakak mati, ngapain juga aku mau merawat Kakak. Meskipun Kak Aris selalu marah-marah, aku tetap menyayangi Kak Aris seperti kakakku sendiri,” tuturnya lembut.

Aris menatap lekat manik Aisha, di sana tidak terdapat tanda kebohongan. Ya, pada dasarnya memang Aisha sangat sayang sama Aris. Ia begitu menyayangi keluarganya sekalipun keluarga membencinya.

Puluhan menit telah berlalu, gadis cantik itu sudah selesai memasak nasi dan membawakannya ke dalam kamar Aris lengkap dengan air.

”Kak, ayo duduk makan dulu,” ucapnya sambil menaruh nampan di atas nakas. Lalu, membantu Aris untuk duduk sambil menyenderkan punggungnya di kepala kasur.

Moonless Night Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang