18. Luna

6 1 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak!Vote and Comment!Thank you!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote and Comment!
Thank you!

------
-Bara-

Sebelum baca, aku mau say hi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum baca, aku mau say hi.
Hi!!!!!! *awkward*
Udah lama hiatus dan baru nongol sekarang hihi karena ngurusin rl yang super duper memakan waktu:')
Dan.. Yang baru baca short story ini, selamat datang ya!!
Semoga suka dengan ceritanya<3

🌛

Suara bising terus terdengar, suara itu berasal kamar di lantai dua rumahku.

"Buka!! Buka pintunya!!! Aku mau keluar!!"

Itu adiku, Luna. Dia berteriak histeris.

"Tolong buka pintunya!!" Luna terus berteriak.

Aku tak bisa membuka pintu itu untuknya. Aku tidak bisa mengendalikanmu Luna.

Luna, adikku satu-satunya. Ia terkena gangguan mental sejak ia berusia 17 tahun. Ayah dan Ibu meninggal dunia, Luna belum merelakan kepergian mereka. Terlebih lagi saat Luna berada dimasa sulit, sang kekasih meninggalkanya begitu saja. Dan.. Luna pernah mengalami pelecehan seksual di Sekolah. Kami selaku keluarga sudah menuntut keadilan. Tetapi, keadilan itu tidak bisa di tenggakan dengan benar. Hukum dunia amatlah tak adil.

"Sebenarnya kenapa, Bi? Luna kenapa bisa histeris seperti itu?"

"Bibi kurang tahu, Mas. Tiba-tiba Luna teriak histeris minta dibukakan pintu."

Pasti ada sesuatu yang terjadi. Tidak mungkin Luna tiba-tiba seperti ini, batinku.

Sejak lama, aku berniat membawa Luna ke Rumah Sakit Jiwa, tetapi pikiranku akan lebih tak tenang karena tidak bisa memperhatikanya setiap saat. Namun, dalam keadaan seperti ini pun aku dibuat binggung. Harus bagaimana?

Tuhan.. Aku harus apa? Luna terus berteriak. Aku mengacak-acak rambutku sampai tak beraturan.

"Tolong.... Buka pintunya.. Aku mau keluar...." suara itu, telah melemah. Terdengar putus asa.

Aku selalau menangis di saat seperti ini. Tak tega. Gelisah. Sebagai kakak, aku belum bisa menjaganya dengan baik. "Kakak harus apa, Luna?" lirihku sendiri.

Bukan hal mudah untukku menghadapi situasi seperti ini. Orang bilang, Luna adalah bebanku, karena menghalangi masa depanku. Tidak, aku menyangkalnya. Luna bagaikan berlian berharga, sosok adik yang sangat ku rindukan. Dan penyemangatku.

Aku harus mengurusnya, walau tidak sepenuhnya. Luna terkenal dengan keceriaanya. Senyum manis dan keramahanya dengan siapapun. Tapi sekarang...

Ku buka pintu kamar itu, Luna telah tertidur pulas, mungkin karena efek obat yang diberikan Dokter. Aku menatapnya. Wajah cantik dan ceria seakan sirna dari wajah mungil itu. Senyumnya memudar tak bersisa.

Aku membelai rambut lurusnya lembut agar tak menganggu tidur lelapnya. Tanpa aba-aba, air mataku jatuh begitu saja. Menangis disamping adikku yang sedang tersiksa. "Maaf, Luna. Maaf...." lirihku.

Melihat Luna, aku teringat oleh Nara. Gadis pujaanku. Keadaan mereka hampir sama menurutku. Tetapi mereka memiliki sisi yang berbeda. Tak bisa membayangkan bagaimana Nara kala itu. Dia terpuruk sama seperti adiku. Namun, perlahan... Nara bisa menghadapinya. Aku ingin membatunya bangkit. Aku mulai mencintainya. Bukan karena belas kasihan. Perasaan ini tulus. Seperti aku menyanyangi Luna. Tak terhingga rasanya.

Tangisan semakin terisak, aku tak bisa membendungnya lagi. "Aku belum mampu menjadi kakak yang baik untukmu. Aku merindukanmu."

•••••

Salam hangat, Olif.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tigapuluh Satu | Na Jaemin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang