Angin malam yang bertiup menusuk tulang, suara gesekan daun yang tersapu menimbulkan bunyi, Nayra duduk dengan menumpu pada lutut, sedang menyerap seluruh energi dan ingatan masa lalunya ketika ia memiliki kekuatan sejak dilahirkan ke bumi. Kekuatan yang diwariskan turun temurun oleh moyangnya.
"Ayah, ibu. Apakah musuh kalian orang yang sama yang sekarang mengganggu ku?"
Pertanyaan Nayra dibalas dengan tawa kekehan entah dari siapa, suara bisikan yang menggoda untuk menyerap lebih banyak energi dan melakukan balas dendam secara sadis, menuntut balas dendam lebih keji melebihi kematian orang tuanya.
"Kamu harus Hati-hati dan jangan lupakan Shalat dan mengaji, karena dengan begitu Allah terus menjaga kamu."
"Insya Allah, Kyai."
"Jangan berkomplot dengan ilmu Hitam ya, Nayra."
Nasehat kyai Mahmud tiba-tiba saja terlintas di ingatan Nayra, begitu pula dengan keluarga Adam yang sudah menjaganya dengan baik.
Nayra melepaskan tangannya dari puing-puing rumahnya yang hancur, napasnya tersengal. Matanya menyala dan meredup berulang kali.
Suara derap langkah cepat mendekatinya. "Nayra!" Adam berlari bersama Rio dan Dewa memasuki hutan yang diikuti beberapa sesepuh desa dan menemukan Nayra sedang berdiri membelakangi mereka.
"Biarkan dia melakukan tugas yang tidak bisa dia langgar," ucap seorang kakek berusia tujuh puluh tahun.
"Aku tidak akan membiarkan putriku bersekutu dengan setan." Adam mendekati Nayra dan menyentuh pundaknya.
Nayra tersenyum menakutkan dengan kedua matanya yang memerah.
"Nayra! sadarlah!" Adam mengguncang pelan tubuh Nayra. "Istighfar, Nayra!"
Rio meraih tangan Nayra yang mengepal. "Nayra, kembalilah pada kami."
Dewa memeluk tubuh Nayra dari belakang yang berdiri mematung menghadap Adam. "Nayra, berserah dirilah kepada Allah."
Rio mengusap kuat tangan Nayra yang terasa dingin agar lebih hangat. "Nayra, aku mohon, sadarlah!"
Mata merahnya meredup dan kembali normal. Dewa melepaskan pelukannya tetapi tidak dengan Rio yang meremas kuat tangan Nayra agar tetap hangat.
"Nayra." Adam memegang kedua pipi Nayra.
"Apa balas dendam itu salah?"
"Salah besar, Nay."
"Tetapi mereka membunuh kedua orangtuaku dan mengerjai aku," ucap Nayra lirih.
"Manfaatkan kelebihanmu untuk yang baik, Nay." Adam membelai lembut pucuk kepala Nayra.
"Jangan melemah dan goyah, kau bukan sekedar kahin biasa." Pria berusia tujuh puluh tahun itu berjalan mendekati. "Ilmu mereka harus dilawan dengan ilmu lagi, jika kamu melepaskan milikmu mereka akan menyatu dengan iblis."
"Kahin? Siapa yang anda maksud?" Adam mengerutkan alis.
"Terdahulunya ada yang disebut Araaf yaitu peramal, ramalannya tak pernah meleset sekalipun. Rammal ahli tenung, dapat memberi dan menarik santet. Dan Kahin atau disebut dengan dukun pasti kalian tahu apa yang dilakukan seorang dukun. Tapi, dia bukan dukun biasa. Lihat saja kekuatannya sungguh luar biasa dan di tangan yang tepat." Wajah keriputnya menatap Nayra lekat.
"Dia sudah cukup menderita," ucap Adam. Menarik pundak Nayra untuk mendaratkan kepala Nayra di dadanya, seperti seorang ayah yang sedang melindungi putrinya.
"Takdir, itu sudah jalan hidupnya. Kekuatannya harus dia gunakan dengan benar, atau ia akan kalah dengan kekuatannya sendiri."
"Maksudnya?"
"Dua roh itu yang akan menguasai dirinya."
"Tetap saja, membunuh itu salah." Protes Adam dengan wajah kesal.
"Kalau begitu, musnahkan saja ilmu mereka, Kahin akan mengetahui dengan caranya sendiri." Si kakek berlalu hendak pulang ke dusunnya.
Musnahkan ilmunya, kalimat itu terngiang di pikiran Nayra, mungkin itu perihal yang tepat.
"Datanglah ke alam sadarmu yang paling dalam, temukan jalan selangkah demi selangkah menuju mereka, meski jalan itu belum tentu dari mereka," ucap sang kakek berbalik menatap kosong ke arah Nayra.
Apa maksudnya dari kata-katanya, sungguh tidak di pahami sama sekali, temukan jalan, kemana? Aneh.
"Maaf sebelumnya, kakek ini siapa, ya?" Dewa bertanya dengan sopan. Kakek yang sudah berjalan dengan susah payah itu kembali terhenti.
"Aku hanya orang biasa yang menyaksikan sejarah keluarga Kahin yang sudah menjadi dongeng di kampung kamiren. Dan mungkin kehilangan Nayra akan membuat dongeng itu menjadikan legenda urban saja." Si kakek kini di bantu berjalan oleh beberapa orang yang tadi ikut datang bersamanya.
"Nayra, ayo kita pulang." Ajak Adam.
"Sebentar, Om." Nayra berjalan menghampiri kakek dan berdiri di hadapannya. "Kakek, saya akan memusnahkan ilmunya daripada membunuhnya."
"Kau sudah mengambil keputusan?" Nayra mengangguk. Si kakek tersenyum. "Lakukan yang kamu bisa, jika tidak menemukan jawaban dari semua pertanyaanmu datanglah ke bawah alam sadar, karena ada mereka di dalam dirimu."
Nayra kini paham apa yang dimaksud, dirinya harus bekerja sama dengan benggala betina dan jaguar jantan. Nayra mengangguk dan menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih dan memberi penghormatan. Si kakek kembali berjalan dengan tergopoh seraya digandeng beberapa orang.
Nayra kembali mendekati puing rumahnya dan menyerap energi yang ada di dalam rumah miliknya yang sudah runtuh, hingga akhirnya puing itu hancur seperti pohon tua yang lapuk, debu abu juga berhamburan menghasilkan batuk dari tenggorokan mereka yang tiba-tiba pengap.
Disekitar bangunan mereka menimbulkan asap tipis dan kerlip-kerlip seperti kunang-kunang yang terbang ke langit dan menghilang diantara pepohonan.
Nayra mundur satu langkah dan membungkukkan badan, menghormati beberapa bayangan disana yang satu persatu menghilang. Nayra menduga itu adalah roh dari leluhurnya dan mungkin saja diantara mereka ada kedua orangtuanya.
Sejatinya, leluhur Nayra tak beragama, turun menurun mereka hanya terikat dengan jin disekitarnya, mungkin Nayra satu-satunya yang memiliki agama.
Adam merangkul pundak Nayra. "Ayo, sayang kita pulang, hari sudah hampir tengah malam."
Nayra melihat ke arah Adam. "Om, terima kasih sudah menerima Nayra." Adam memeluk Nayra hangat.
Dewa mengusap kepala Nayra. "Bodoh." Nayra tersenyum.
Rio pun tertunduk seraya tersenyum, Hatinya menghangat diantara Dewa dan Adam yang saling menyayangi meski mereka tidak berhubungan darah dengan Nayra.
Nayra pamit dengan kepala suku desa kamiren dan beberapa sesepuh disana.
Selama di perjalanan Nayra tertidur pulas bersandar di lengan Dewa, Rio duduk bersebelahan dengan Adam yang mengendarai mobil menuju Jakarta."Rio, terima kasih. Sudah menjadi orang terdekat Nayra." Rio mengangguk dan tersenyum kemudian melirik kearah belakang menatap Nayra. Pandangannya berakhir melihat Dewa yang menarik satu alisnya dengan tatapan kesal. Rio hanya menarik sudut bibirnya kemudian kembali memandang ke depan jalan.
"Ada apa dengan kalian." Adam menangkap tatapan Dewa dari kaca spion tengah.
"Dia sedang mendekati adikku, Om." Rio terkekeh. "Hei, apa yang kau tertawakan?!"
"Maaf, ka Dewa. Apa perlu kita bersaing merebut hati Nayra."
"Kurang asem!" Dewa mendengus.
Rio terkekeh lagi, Dewa menendang jok kursi Rio. Adam hanya menggeleng seraya tersenyum melihat kedua pemuda itu.
.
.
.
Bersambung....
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayra (Pemilik Netra Merah)
TerrorNayra tidak pernah tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri, entah kenapa kelebihan ini jatuh pada dirinya dan entah mengapa sosok 'dia' ada di dalam dirinya. Tertabrak mobil, hilang ingatan bahkan selamat dari kematian. Nayra sempat berpikir apak...