10. Menyapa

4 3 0
                                    

Sejak mengidap PTSD, hari-hari Gavin dihabiskan dengan upaya mengembalikan ke stabilan mentalnya. Perjuangan yang mungkin terlihat bodoh, sekian tahun mencari gadis bernama Vennelica hanya untuk memohon maaf, agar karma dan ketakutan segera beranjak dari hidupnya.

Mulai dari men tracking media sosial, mencari informasi dari pihak SMP tidak ada satupun yang membawa Gavin bertemu dengan gadis bernama Vennelica.

Sampai hari pengasihanan dari Tuhan datang, gadis yang menjadi jawaban dari kekacauan hidupnya muncul dihadapanya, dan ini kesempatan yang tidak boleh Gavin lewatkan. Selagi Gavin masih bernafas

Walaupun sulit dihindari, Gavin kini belajar cara mengatasi dan melawan ketakutan yang ada di dalam diri.

Dia berganti hobi pada permainan ringan tapi rumit untuk melatih emosi serta pengendalian diri. Puzzle, rubik, merangkai robot dan hal-hal kompleks lainya menjadi pengisi hari cowok itu.

Sedang asik merakit robot barunya, perhatian Gavin beralih pada cowok dengan poni yang menutup satu matanya, berjalan ke arah tengah ruangan dengan bahu yang turun terlihat kelelahan.

"Kai" sapa Gavin pada sosok yang berhenti di depanya.

Cowok itu duduk dan melepas dasi yang melingkar di lehernya seharian. Menjadi mahasiswa itu tidak mudah, apalagi kalau ...

"Capek ya jadi maba?" dengan posisinya yang lesehan Gavin bertanya sambil memasang muka sok kasihan.

"menurut lo?" kedua matanya berputar malas, dengan nada bicara yang terdengar lesu.

"Ya capek lah." Dia yang bertanya, dia juga yang menjawab, selalu seperti ini kalau ngobrol dengan Kai.

Keduanya memiliki kemiripan, wajah datar, tatapan mata yang menusuk ala-ala cowok novel barat, dan juga omongan yang menyayat hati, merupakan komponen yang membentuk Kai dan Gavin. Bedanya Gavin lebih frontal dan bisa hangat pada orang-orang terdekatnya, namun Kai lahir dengan wujud yang tidak suka basa-basi, tapi omongannya bisa sepanjang jalan kenangan kalau menegur Gavin, cowok dengan suara bariton itu memiliki senyuman yang jarang terlihat, dia juga seringkali memasang mimik muka yang aneh dan susah untuk ditebak.

Kai memang sudah seperti itu sejak kecil, beda kisah dengan Gavin yang sejatinya ramah, komunikatif, suka tantangan dan tidak sabaran, dia begitu cerah sebelum mengalamai korslet mental, akibat dari tuaian karma yang dia perbuat dari masa lalu.

"Main catur mau?" Gavin menawarkan.

"Males, masa lo nggak cape si?" Kai melempar dasinya tepat di wajah Gavin.

"Nggak, gue nggak banyak kegiatan sekarang, jadi nggak capek-capek banget lah." Gavin mengangkat kedua alis tebalnya, memamerkan kehidupanya yang tidak se-melelahkan Kai.

"Ch, lo nggak capek kalah dari gue? Itu maksudnya anak pinter." Ledek Kai, ingin menyudahi percakapan yang semakin membuatnya lelah.

"Lagi pada ngumpul?" suara hangat datang dari belakang, Eliza bergabung di ruang tengah, mengambil duduk di samping ponakanya.

"Kai kamu baru pulang? Gimana ospeknya?" tanya Eliza. Naluri keibuan nya selalu benar, di saat yang tepat Eliza datang dengan membawa teh dan beberapa cemilan.

Segera ingin menghilangkan penat ditubuhnya, Kai menuang teh di gelas kaca dan menikmatinya perlahan, rasa lelah itu langsung perlahan luntur, walaupun lengketnya keringat masih membuat nya resah tapi setidaknya Kai langsung terileksasikan dengan wangi teh buatan Eliza.

"Ma gimana sih, sekarang itu nggak ada namanya ospek, adanya pengenalan lingkungan kampus atau apalah itu namanya." Ujar Gavin dengan fokus yang masih pada rangakian benda bongkar pasang tidak jelas miliknya.

STAR AROUND SCARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang