Gue udah di halte nunggu jemputan kayak biasa. Tapi Arthur tiba-tiba kirim chat dan bilang kalau dia ada urusan sama anak-anak basket. Gue sih sebenernya gak percaya. Tapi yaudalah. Gak bisa maksa dia juga.
Hari udah makin sore. Gue kirim pesan ke supir Mama untuk jemput gue. Tapi belum ada balasan, bikin gue gigit jari. Gue juga udah pesen ojol, tapi pada ditolak semua.
Aduh, ini gue pulangnya gimana? Soalnya jarang banget ada angkot yang mau lewat sini. Secarakan anak Garuda jarang yang mau naik angkot. Kalau mau nyari angkot pun, gue harus jalan ke terminal yang agak jauh di sana.
Mamaaaa, Naya mau pulangggg!
Kerisauan gue pun berakhir begitu aja saat seseorang memarkirkan motornya di depan halte. Gue tanpa sadar narik senyum lebar lalu bangkit dari kursi.
"Jiroooo! Lo emang penyelamat gue!" Gue amat terharu melihat Jiro---walaupun gue tau kalau muka dia sekarang lempeng banget.
"Naik," kata dia singkat. Gue langsung naik sambil pegangan ke bahu dia. Sejenak gue mengernyit lihat Jiro cuma pakai kaos hitam dan celana abu tanpa membawa tas.
"Tadi sempet pulang dulu, Ji?" tanya gue begitu motor Jiro melaju. Cowok itu ngangguk beberapa kali dan bikin gue kembali mikir.
Itu artinya Jiro sebenernya udah pulang dong? Dia berarti jemput gue dari rumah? Sumpah, gue jadi gak enak. Gue pasti ngerepotin dia.
"Gak papa," ucap Jiro tiba-tiba. Kayaknya dia lihat deh muka gue yang gak enakan lewat kaca spion.
"Thanks, ya, Ji. Lo baik banget." Gue senyum lebar sampai mata gue menyipit. Apa gue bilang, Jiro itu biar pasif tapi anaknya pedulian.
"Kemana?" Tiba-tiba Jiro bertanya. Dahi gue langsung mengernyit karena gak ngerti.
"Maksudnya?"
"Mampir," ucap Jiro. "Mau mampir kemana?"
Oh, gue paham.
Gue pun seketika berpikir. Enaknya kemana dulu, ya, sebelum pulang? Sekali-kali kayaknya gak papa, soalnya gue emang udah jarang banget semotor dan pergi sama Jiro. Kalau ada apa-apa, gue biasanya minta tolong Arthur.
"Pengen yang seger-seger, Ji. Gimana kalau ke drink center yang di persimpangan itu?" usul gue yang langsung disetujuin sama dia. Dia manut banget kalau sama gue.
Kita akhirnya sampai di drink center. Jiro memarkirkan motornya kemudian memegang tangan gue biar gue bisa turun. Kita berdua pun masuk ke dalam dan memilih meja paling pojok yang dipisahin sekat. Lebih mirip area private karena tempatnya emang tertutup dan gak bisa dijangkau sama mata pengunjung lain.
"Pesan apa, Mbak sama pacarnya?"
Gue terdiam sebentar menatap mbak pelayan yang sekarang ini berdiri di depan meja.
Kayaknya dia salah paham deh.
Padahal, kan, milih meja paling pojok bukan berarti mau mojok, ya. Gue sama Jiro gak bakal ada sampai begitu-begituan.
Gue enggak berusaha ralat atau koreksi dan langsung melihat-lihat daftar menu. "Saya pesen es campur buah, Mbak. Topingnya kacang merah aja." Kini perhatian gue beralih ke Jiro yang lagi menatap gue. "Ji, mau pesen apa?"
"Doppio," jawab dia. Bentar, doppio itu apa, ya? Gue kembali melihat ke menu dan menemukan nama itu di deretan kopi-kopi.
"Baik. Jadi, es campur toping kacang merah dan doppio. Ditunggu sebentar, ya, Mbak sama pacarnya."
"Iya. Makasih, Mbak," sahut gue sambil senyum tipis. Setelah Mbaknya pergi, gue langsung merebahkan kepala gue ke atas meja. Gue capek banget woy. Mapel hari ini pada ganas semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ordinary : Kannaya
Teen FictionKannaya Clava Eloise hanya siswi biasa. Tidak populer, tidak begitu pintar, dan tidak begitu cantik. Cenderung suka berdiam diri di perpustakaan sambil ditemani buku-buku fiksi. Saking "biasa saja" di sekolah, orang-orang bahkan tidak tahu ada sisw...