Malam ini gue dan Jiro memutuskan untuk jenguk Arthur sama-sama lagi. Gue enggak cerita ke Jiro atau siapa pun perihal kepindahan gue. Untuk sekarang, gue cuma mau menikmati waktu bersama mereka. Tanpa memikirkan apa pun yang bisa membuat kepala gue mau pecah.
"Jiro udah makan?" Gue bertanya sambil tersenyum lembut. Sementara yang ditanya terdiam sejemang, menatap gue lama.
"Udah," jawabnya setelah melewati beberapa jeda.
"Bagus. Makan terus, ya. Belajarnya jangan terlalu dipaksain. Nanti lo sakit, gue sedih," ucap gue murung.
Jiro mengangguk singkat. Tangan dia tiba-tiba terulur mengelus pipi gue.
"Tumben." Mendengar perkataan setengah tidak percaya itu, gue langsung mencebik sebal.
"Emangnya gak boleh?"
"Boleh," balas dia sambil tersenyum tipis.
Gue seketika nyengir dan memeluk lengan Jiro. Menggoyangkan lengan dia ke kanan dan ke kiri selama kita masih di perjalanan menuju ruang inap Arthur.
Demi apa pun, gue biasanya gak kayak gini. Gue jarang banget manja sama Jiro karena kepribadian dia yang bisa dibilang kayak gak suka sesuatu yang menjijikan semacam ini. Cuma kenapa, ya, gue rasanya pengen banget manja-manja sama dia mengingat gue gak lama lagi bakal pergi jauh dari sini.
"Lo aneh," ungkap Jiro pelan. Mungkin dia mulai merasa ada yang gak beres sama gue.
"Aneh apanya?" Gue bertanya sok innocent. Berakhir cekikikan sendiri karena Jiro memasang tampang amat serius sambil menatap gue. "Gak ada apa-apa, Enji."
Gue bisa melihat pupil mata Jiro melebar sekilas.
"Ulangi."
"Gak ada apa-apa."
"Bukan. Bukan itu."
Seketika gue sosoan kaget. "Oh! Enji? Hehe."
Jiro membuang pandangan ke depan. Enggak menatap gue lagi. Gue cuma mencebik karena tau kalau Jiro paling gak suka dipanggil gitu. Fyi, Enji adalah panggilan khusus dari gue buat Jiro saat kita masih kecil. Setiap gue panggil begitu, dia selalu aja mengabaikan gue.
"Jiro, gue bercanda." Gue memiringkan kepala biar bisa menatap leluasa muka Jiro. Dia melirik gue dari ekor mata, kemudian telapak tangannya meraup seluruh wajah gue.
"Ih, kalau muka gue berantakan gimana?!" dumel gue.
"Emang bisa?"
"Bisa!"
Jiro tersenyum tipis. "Maaf."
Tepat setelah Jiro mengatakan itu, kita akhirnya sampai di ruang rawat inap Arthur. Gue masuk duluan sementara Jiro ngekor di belakang gue kayak anak ayam.
Di dalam ruangan, gue melihat Tante Cia yang lagi tidur di sofa. Sementara Om San di sebelahnya lagi sibuk berkutat dengan MacBook. Gue tersenyum baper saat tangan Om San sesekali mengelus rambut istrinya dengan mata fokus ke layar.
"Permisi, Om dan Tante." Gue mendekati mereka perlahan-lahan karena gak mau gangguin Tante Cia tidur.
"Naya, kamu datang. Silakan duduk." Om San tersenyum kebapakan lalu melihat Jiro yang ada di belakang gue. "Ternyata Jiro juga."
Jiro mengangguk singkat. Gue pun langsung mengajak dia duduk di sofa seberang orang tua Arthur.
"Ini ada titipan dari Mama untuk Om dan Tante makan." Gue meletakkan sebuah paper bag berukuran cukup besar ke atas meja. Melihat itu, Om San tersenyum senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ordinary : Kannaya
Teen FictionKannaya Clava Eloise hanya siswi biasa. Tidak populer, tidak begitu pintar, dan tidak begitu cantik. Cenderung suka berdiam diri di perpustakaan sambil ditemani buku-buku fiksi. Saking "biasa saja" di sekolah, orang-orang bahkan tidak tahu ada sisw...