Garuda menang dan Arthur punya janji sama gue.
Tapi sampai jam delapan malam pun, chat gue enggak dibalas sama dia. Bahkan dari habis maghrib, gue udah nangkir di rumahnya, dianya masih belum pulang. Tante Cia bilang, Arthur ada selebrasi sama anggota basket yang lain di sebuah restoran Jepang.
Pertanyaannya, kalau dia bisa ngabarin Tante Cia, kenapa dia enggak bisa balas chat gue? Padahal singkat doang gak papa. Tapi ini beneran gak ada. Seolah-olah dia mengabaikan gue secara sengaja.
Sumpah, gue salah apa lagi sih?
Kadang gue bertanya-tanya sama diri gue sendiri. Apa gue emang sering, ya, bikin salah tapi suka gak nyadar? Sumpah kalau bener, gue merasa buruk banget.
"Arthur udah di jalan," kata Tante Cia seolah tahu isi otak gue. Wanita paruh baya yang punya peringai manis itu menatap gue sambil memangku Moci---kucing Sphynx.
Saat mata gue bertemu dengan Moci, gue langsung melotot galak.
Fyi, Tante Cia punya alergi sama bulu hewan. Tapi berhubung dia suka kucing makadia memilih mengadopsi kucing tanpa bulu.
Fyi lagi, gue benci Moci. Gak tahu, tapi gue geli lihat apalagi sampai nyetuh dia.
Sumpah, ya. Daripada Moci, namanya lebih cocok diganti Mumi gak, sih? Mirip daging hidup soalnya.
"Naya, ih. Jangan dipelototin. Moci jadi takut," tegur Tante Cia.
Moci takut? TAKUT?????
YANG ADA MUKANYA SONGONG BANGET, TANTE! JADI MAU NAYA TELANTARIN KE PARIT!
"Tante gak tau aja waktu Tante ke dapur tadi, Moci tiba-tiba gigit kaki Naya," adu gue tapi gak membeberkan fakta bahwa setelah Moci gigit kaki gue, gue langsung nendang kucing itu karena refleks.
Tante Cia terkejut mendengarnya. Dia langsung menunduk dan menceramahi Moci.
"Moci gak boleh nakal. Naya keluarga kamu juga."
Gue mendelik.
OGAH BANGET SEKELUARGA SAMA KUCING BOTAK.
Ceklek.
Kepala gue menoleh gesit ke arah pintu. Masih dengan jersey basketnya, Arthur berdiri di sana sambil memasang muka datar.
"Arthur, gak takut masuk angin kamu?" omel Tante Cia begitu Arthur masuk.
Cowok itu melirik gue sekilas sesaat sebelum mengelus Moci di pangkuan Maminya.
"Enggak dingin," balas dia santai.
"Yaudah. Mandi dulu sana. Pake air hangat."
Arthur mengangguk lalu pergi menuju lift. Sebelum pintu lift tertutup, mata kita sempat beradu pandang cukup lama hingga pintu lift akhirnya menutup sempurna.
Sumpah, gue kayaknya punya salah sama dia deh????????
"Loh, Naya enggak ke kamar Arthur?" Tante Cia heran melihat gue masih di sini. Entah kenapa, gue merasa bimbang sekarang. Apa gue harus nyamperin Arthur sekarang atau nanti aja? Dilihat sekilas pun, Arthur kelihatan banget lagi badmood.
"Kayaknya nanti aja deh, Tan. Arthur pasti cape banget," balas gue sambil menyengir.
"Tapi kamu nungguin dia udah lama." Tante Cia mengernyit gak suka sama jawaban gue. Karena emang Tante Cia yang dari tadi nemenin gue nungguin Arthur di sini. Sama Moci juga sih.
"Gak papa. Next time aja deh." Gue ketawa pelan lalu beranjak dari sofa. "Naya pulang dulu."
"Gak pamit sama Moci?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ordinary : Kannaya
Teen FictionKannaya Clava Eloise hanya siswi biasa. Tidak populer, tidak begitu pintar, dan tidak begitu cantik. Cenderung suka berdiam diri di perpustakaan sambil ditemani buku-buku fiksi. Saking "biasa saja" di sekolah, orang-orang bahkan tidak tahu ada sisw...