"Bacot. Gak usah banyak ngeluh. Siapa suruh gak masuk tiga hari. Mampus lo, bego."
Bibir gue melengkung ke bawah mendengar omelan Jessica. Dia ini kawan macam apa sih? Gak ada jiwa support-nya sama sekali. Seharusnya kalau ada temen yang lagi kesusahan, kan, dibantuin. Ini dibantuin engga, diomelin iya.
Gue unpren aja kali, ya?
"Gak seneng lo?" Jessica melotot besar. Matanya gak berkedip sama sekali sampai pada akhirnya gue menunduk dalam. "Itu udah gue kasih semua tugas gue, Naya. Lo tinggal salin. Ribet lo."
"Mau joki aja bisa gak?"
"Kepala lo joki. Udah bego, masa mau tambah bego. Minimal kalau udah dapet jawaban, ya, salin pake tangan sendiri, anjir. Ini udah dikasih jawaban cuma-cuma, eh masih mau nyewa joki. Tolol."
Rasanya kok panas banget, ya? Padahal lagi di perpustakaan loh ini?
AC NYALA KAN?????
"Lo denger gak sih, Nay?"
GUE GAK DENGER, KEPALA GUE PANAS. LO BISA STOP NGOMELIN GUE GAK?!!!!
Maunya sih ngomong gitu. Tapi gimana, Jessica emang benar. Gue kurang bersyukur dan effortless jadi manusia. Minimal kalau udah dikasih contekan jawaban dari temen, seharusnya gue salin pake tenaga gue sendiri.
"Maaf," balas gue gak mau memperpanjang lagi. Tangan gue bergerak cepat di atas kertas, menciptakan tulisan bak cakaran setan yang entah bisa kebaca apa engga. Bacotlah. Mau dikasih lima puluh pun gue ikhlas jasmani rohani.
Setelah itu hening. Jessica berhenti ngomelin gue. Gue diam-diam mendongak dan mencuri pandang ke dia, mendapati Jessica lagi melamun sambil bertopang dagu. Melihat itu, gue tau kalau mood dia lagi gak bagus.
"Arthur ke mana, ya, Nay?" tanya Jessica dengan tatapan kosong. Seketika jantung gue berdetak kencang. Tangan gue berhenti nulis dan gue jadi gak punya semangat buat ngapa-ngapain lagi.
"Udah beberapa hari ini dia gak masuk," lanjut Jessica nelangsa. "Gue sedih gak bisa lihat dia."
GUE JUGA, JES, GUE JUGA!
Gue meremat tangan dengan kuat di bawah meja. Sialan banget. Disinggung sedikit soal Arthur gue langsung pengen nangis.
Sret.
"Gue mau ke toilet." Tanpa menunggu persetujuan Jessica, gue langsung ngacir pergi. Bakal gawat kalau dia melihat mata gue yang berkaca-kaca jelek.
Setelah keluar dari perpustakaan, bukannya ke toilet, gue malah berjalan lurus sampai kaki gue berhenti di ujung koridor. Gue cuma mau nangis. Makin ditahan makin sesak rasanya.
"Naya?"
Badan gue terkesiap. Buru-buru gue mengusap kasar mata gue lalu mengambil napas dalam-dalam. Setelah itu, gue berbalik perlahan, berusaha membuat ekspresi senormal mungkin.
"Lo kenapa?"
Gue gak bisa. Meski Agaris berdiri menjulang di hadapan gue, tapi arah tatapan gue terus tertuju ke bawah. Dan sialannya lagi, justru setelah ditanya kenapa, rasanya air mata gue mau tumpah semua.
"Naya, ada yang ganggu lo?" Agaris berjalan makin dekat. Gue masih berada di posisi yang sama, enggak mencoba mundur atau berkilah. Namun, kepala gue terus nunduk karena mata gue yang kembali panas.
"Naya, gue nanya! Lo kenapa?!"
Nada suara Agaris naik dan itu sejujurnya bikin gue jadi sedikit emosional. Gue pun mendongak dan menatap langsung ke arah dia.
"Bukan urusan lo!" Alis gue mengerut dalam. "Gak usah sok peduli sama gue. Lo pikir lo siapa? Cuma orang asing yang kebetulan selalu masuk ke jangkauan mata gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ordinary : Kannaya
Teen FictionKannaya Clava Eloise hanya siswi biasa. Tidak populer, tidak begitu pintar, dan tidak begitu cantik. Cenderung suka berdiam diri di perpustakaan sambil ditemani buku-buku fiksi. Saking "biasa saja" di sekolah, orang-orang bahkan tidak tahu ada sisw...