20 : Firasat

379 30 2
                                    

Ini sebenarnya sepele. Tapi berhasil bikin mood gue jelek banget.

Kalian semua tau, kalau pulang sekolah, muka kita udah pasti minyakan sama kusam parah. Mana badan gerah dan lelah jiwa raga.

Nah, tapi masalah gue enggak cuma itu aja. Masih ada lagi.

Di sore hari yang masih panas dan terasa beruap ini, gue diharuskan stay di sekolah karena hari ini giliran gue yang piket. Emang, kelas gue punya aturan kalau siswa yang piket wajib membersihkan kelas waktu pagi dan waktu pulang.

Cuma masalahnya, TERNYATA YANG PIKET CUMA GUE DOANG, SAT. YANG LAIN UDAH PULANG, SEMENTARA KUNCI KELAS DITITIPIN KE GUE. OTOMATIS, GUE HARUS DATANG PAGI-PAGI BANGET BESOK.

Demi Tuhan, gue mau marah. Kenapa sih, orang-orang di kelas ini pada jahat sama gue? Padahal gue gak pernah merasa menyakiti mereka.

"Sialan banget si Gina. Kayak punya dendam sama gue. Tau gini tadi gue minta Jessica temenin." Gue gak ragu buat mengumpat kasar. Toh, cuma gue di sini.

"Ini meja siapa sih. Kayak tempat sampah aja. Dasar jorok." Mata gue mendelik melihat tumpukan sampah kertas sampai sampah bungkus makanan di dalam laci meja yang entah siapa pemiliknya. Gue gak seniat itu mau ngehapalin denah kelas. Gak penting.

"Sabar, Naya. Sabar."

Gue mengelus dada. Ini sampai Papa gue tau kalau gue dikucilkan di kelas, kelar mereka semua. Tapi untungnya gue masih berbaik hati. Gue gak setega itu untuk membiarkan bokap mereka gulung tikar dalam waktu sekejap.

Gue bukannya mau sombong, tapi Papa gue punya power yang lumayan besar. Wali kota aja segan ngomong sama Papa gue.

Setelah menyapu hampir seluruh bagian kelas, gue pun langsung mengambil foto kelas dan mengirimkannya ke Bu Jule. Fyi, Bu Jule itu wali kelas gue.

Selesai mengirim foto ke Bu Jule, baru deh gue mengambil tas dan mengunci pintu kelas.

Sepanjang perjalanan di koridor, gue mengirim pesan ke supir Mama untuk minta jemput. Sama supir Mama disuruh tunggu di depan gerbang. Jadi, gue bergegas ke sana sambil berlari kecil.

"Eh, lo gebetannya Agaris, 'kan?"

Langkah gue terhenti. Lantas gue berbalik ke belakang, menemukan sosok cewek dengan rambut panjang tergerai. Dia adalah teman kelas Jiro yang waktu itu sempat ketemu di perpustakaan.

"B-bukan," jawab gue canggung.

"Lah, lo kok gak menghargai effortnya Agaris sih?"

Mata gue berkedip cepat.

Hah?

Barusan ... dia bilang apa?

"Lo seharusnya beruntung. Agaris itu tipe cowok yang struggle. Minimal jangan kasih harapan lah."

WAH.

HA HA HA HA.

APA NIH?

DIA ASLINYA TWO FACED, YA?????

"Maksudnya?" Gue sengaja bego. Mau lihat sejauh mana dia mau nyudutin gue.

Sementara gue yang lagi memiringkan kepala, cewek itu justru tersenyum ringan.

"Lo kelas 12 MIPA 4, 'kan? Pantes kalau gitu."

SUMPAH, GUE MAU NGAMUK.

Walaupun dia gak bilang secara langsung, tapi gue tau kalau dia lagi ngerendahin gue sekarang.

Gue senyum ramah. "Lo kelas 12 MIPA 1, ya? Di sana diajarin hitung-hitungan doang kah?"

WKWKWKW.

GUE JUGA BISA, SAT.

The Ordinary : KannayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang