"Non Naya mau jaga depan aja?"
"Iya. Kayak biasa."
Gue tersenyum kecil ketika salah satu karyawan Mama menyerahkan sebuah apron, sarung tangan, dan topi ke gue. Itu semua adalah perlengkapan yang harus dipake sebagai identitas bahwa mereka adalah karyawan yang dipekerjakan di sini.
Jadi, bisa tebak gue lagi di mana sekarang?
Ya, benar. Gue lagi di toko Mama. Minimal tiga kali dalam sebulan, gue selalu menyempatkan diri datang ke sini. Entah itu cuma buat main doang atau bantu-bantu kayak sekarang. Tentunya gue gak diizinkan menjamah ke bagian dapur, karena yang ada gue akan mengacau di sana.
"Temennya Non mau tunggu di ruangan khusus aja atau gimana?"
Mata gue spontan beralih ke Jiro. Cowok itu dari tadi cuma diem mengekori gue tanpa bicara apa-apa.
"Ji, mau tunggu di mana?" tanya gue sambil menarik ujung lengan kemeja dia.
"Depan." Jiro menatap ke arah tangan gue yang bertengger di lengan dia.
"Mau yang kayak biasa, 'kan?"
"Iya."
Dalam sepersekian detik, atensi gue kembali mengarah ke karyawan Mama.
"Mbak, tolong bawain kue tiramisu kopi sama es limun punya Mama yang ada di dalam kulkas ke depan, ya," pinta gue.
"Baik, Non."
Setelah mengucapkan terima kasih, gue menarik ujung lengan kemeja Jiro lalu melepaskannya saat udah sampai di dekat kasir. Gue mendongak menatap dia karena perbedaan tinggi kami yang memang cukup signifikan. Fyi, tinggi gue cuma sebatas dada Jiro.
"Tungguin, ya. Gue kerja dulu." Fyi lagi, setiap bantu-bantu di toko, gue selalu dibayar sama Mama. Dalam artian, uang bulanan gue dilipatgandakan. Kalian pikir gue melakukan semua ini dengan suka rela? Say sorry aja, gue ogah kalau enggak diupah.
Iya, gue emang pamrih orangnya. KENAPA???? MASALAH???????
Jiro berdeham singkat lalu kayak biasa, dia duduk di salah satu meja yang mana masih bisa masuk ke dalam jangkauan mata gue.
Senyum gue terulas tipis. Melihat Jiro di sana yang cuma diem sambil melihat gue entah kenapa rasanya sedikit lucu aja. Jatuhnya di mata gue, dia kayak anak kecil yang stay nungguin Mamanya kerja.
"Selamat datang di Madam Loise. Ada yang bisa saya bantu?"
Gue mulai melayani para pembeli yang datang. Kebanyakan dari mereka lebih memilih makan di tempat ketimbang bungkus buat dibawa pulang. Anehnya, pelanggan yang memilih makan di sini duduk gak jauh dari Jiro. Gue sih cukup tau aja, ya.
"Mbak, kue apa ya yang kira-kiranya cocok buat orang yang enggak terlalu suka manis?"
Alis gue terangkat tinggi mendengarnya. Secara naluriah, mata gue sedikit melirik Jiro yang lagi duduk tenang sambil mainin hape.
Entah kenapa, gue langsung teringat dia. Jiro tipikal orang yang gak suka manis. Cenderung suka sesuatu yang pahit tapi enggak bikin sepet.
"Tiramisu kopi kayaknya cocok, Mbak," balas gue sambil senyum ramah.
"Yaudah, saya pesan itu ya satu. Terus, saya juga mau yang lotus satu."
"Baik, Mbak. Ada lagi?"
"Sudah."
"Totalnya jadi 95.500 rupiah."
Gue melemparkan senyum bisnis setelah Mbak itu selesai bayar. Tangan gue dengan lincah naruh uang ke dalam kotak kasir lalu perlahan mendongak untuk melayani si pembeli berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ordinary : Kannaya
Teen FictionKannaya Clava Eloise hanya siswi biasa. Tidak populer, tidak begitu pintar, dan tidak begitu cantik. Cenderung suka berdiam diri di perpustakaan sambil ditemani buku-buku fiksi. Saking "biasa saja" di sekolah, orang-orang bahkan tidak tahu ada sisw...