Bab 4

1.2K 134 1
                                    

Zalia tiba di ruang makan disana ayah nya sudah menunggu bersama seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun. Anak laki-laki itu sekilas mirip dengan Zalia. Zalia menduga itu adalah kakaknya juga. Lelaki yang menggendong Zalia tadi menurunkan nya di kursi sebelah kanan ayahnya. Lalu ia pergi duduk di samping anak laki-laki itu.

"Eh! Eh!" Gumam Zalia bingung. Ia tak nampak makanan melainkan bawah meja yang gelap. Cale yang melihat putrinya merasa begitu lucu, ia segera mengangkat Zalia lalu mendudukkan di pangkuannya.

"Zalia kita makan dulu. Setelah itu ada yang ingin ku bahas" Zalia mengangguk mengerti. Meski malu karena makan langsung dari pangkuan sang ayah, Zalia tetap mencoba menikmati makanannya.

Tak lama makanan pun habis. Zalia sungguh bersyukur, ia bisa makan makanan yang lezat dan mewah setelah bertemu ayahnya. Chef dikediaman ini harus diberikan aplus untuk itu.

"Zalia mereka berdua adalah kakak laki-laki mu. Kalian perkenalkan diri pada Zalia!" Pinta Cale. Anak laki-laki itu sangat bersemangat dan memperkenalkan diri terlebih dahulu.

"Zalia, aku Zen Fan Axya. Aku adalah kakak kedua mu. Salam kenal ya" ucap Zen yang bersemangat.

"Aku Rean An Axya." Rean memperkenalkan dirinya dengan dingin. Zalia merasa Rean tidak menyukainya. Matanya berkaca-kaca menatap Rean.

"Mengapa kau begitu dingin Rean!?"tanya Cale melihat Zalia ingin menangis. Rean menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia merasa bersalah. Namun, terlalu malu untuk meminta maaf.

"Hah, aku tak bermaksud begitu ayah. Aku hanya belum terbiasa, kau mengerti Zalia" Zalia mengerti apa maksud Rean, ia merasa tenang sekarang. Rean seperti itu karena ia belum dekat dengan Zalia saja.

"Kau tau Zalia, sejak kehilangan mu. Rean lah yang menangis selama seminggu." Ucap Cale membuat Rean tersipu malu. Wajar ia menangis dalam satu waktu ia kehilangan dua wanita yang disayangi.

"Itu benar. Kak Rean bahkan sampai sakit. Meski aku dan ayah sedih, aku harus tetap kuat demi ibu" Zalia kini melihat sosok Zen yang mirip dengan ayah nya, mungkin Rean mengambil sifat ibu yang lemah lembut.

"Rean. Hari ini kau harus membawa Zalia berkeliling. Selagi kau masih libur dari akademi" pinta Cale. Zalia mendongak menatap Cale, gadis itu memasang tampang polosnya.

"Apakah aku harus pergi ke akademi juga ayah?" Tanya Zalia. Disini para bangsawan yang memiliki sihir dan ilmu pedang harus pergi ke akademi agar mereka dapat lebih mengasah kemampuan serta diakui oleh masyarakat. Namun Zalia merasa tidak ingin kesana, karena ia sungguh takut untuk bergaul dengan orang-orang. Kasus bullying di kehidupan yang lalu masih berbekas di otaknya.

"Jika kau tak ingin. Kau boleh tak pergi nak tetapi kita harus memeriksa dulu apa kah kau memiliki sihir atau kemampuan berpedang" jelas Cale. Zalia berharap ia tidak memiliki apa-apa karena ia ingin hidup menjadi lady bangsawan yang memiliki banyak harta dan kehidupan damai.

"Jika kau tak memiliki kemampuan kami akan melindungi mu nak. Rean memiliki kemampuan berpedang dan dia akan segera lulus dari akademi. Sedangkan Zen memiliki sihir, ia akan menjadi penyihir di menara."sambung Cale lagi. Zalia tak perlu khawatir sekarang ia sudah mempunyai orang yang mampu melindunginya.

Cale kemudian menyerahkan Zalia pada Rean. Zen yang periang ikut dengan kakaknya juga, Zalia tenang digendongan Rean. Tubuh lelaki itu sangat kekar, Zalia merasa ia dapat menenteng Zalia dengan mudah.

Mereka berjalan dengan tenang. Rean menghentikan langkahnya tepat di sebuah foto besar yang terpajang.

"Woah. Dia sangat cantik" kagum Zalia kepada Wanita berambut pink dilukisan itu.

"Dia itu ibu! Dia wanita yang sangatttttt baik." Teriak Zen. Zalia dapat merasakan kehangatan saat melihat senyuman wanita itu. Ia ingin bertemu dengannya, ia ingin merasakan kasih sayang seorang ibu.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Di dalam perjalanan Zen dan Zalia banyak berbicara tidak seperti Rean yang hanya diam. Hingga sebuah sesuatu mengganggu nya.

"Apakah kau tidak ingin ke akademi Zalia?"tanya Rean yang sedari tadi bungkam.

"Aku... Tidak mengatakan tidak ingin pergi tapi,.. Aku takut kak..." Ujar Zalia pelan.

"Apa yang kau takutkan Zalia? Disana ada banyak teman dan kau akan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan disana!" Seru Zen.

"Eum... Aku takut melakukan kesalahan dan mereka membenci ku..."

"Jika ada orang yang membenci mu, lalu melakukan sesuatu yang jahat pada mu. Todongkan saja pedang ke leher mereka, setelah itu tak akan ada lagi orang yang membenci mu" ucap Rean dengan enteng nya membuat Zalia membulatkan matanya. Ia seketika teringat bagaimana Cale dengan gampang menodongkan pedangnya kepada orang yang tak ia sukai.

"Itu tidak boleh kakak!" Sangkal Zen. Zalia menatap bangga ternyata Zen tak terkena ajaran sesat mereka.

"Ibu bilang gunakan saja sihir bungkam pada mereka. Dan mereka tak akan bisa melakukan apa-apa lagi karena sudah bisu selamanya" Zalia menelan ludah nya ternyata mereka sama saja bahkan ibu nya juga seperti itu. Maka dari itu tidak ada yang berani mencari masalah dengan Duke Axya.

Mereka berhenti lagi di sebuah ruang. Rean sengaja ingin memperlihatkan ruangan istimewa yang dimiliki Axya. Mata Zalia berbinar, ia melihat begitu banyak pedang yang terpajang disana. Ada berbagai macam pedang mungkin jumlahnya ratusan, ruangan itu juga sangat besar.

"Kau tau Zalia? Penyihir tak dapat memegang pedang karena sihir yang banyak mereka tampung. Sedangkan ahli pedang hanya memiliki sihir yang sangat sedikit untuknya bahkan kadang sihir itu tak berguna untuknya." Jelas Rean. Berarti Zen tak dapat memegang pedang karena ia adalah seorang penyihir, apakah Zalia bisa memegang pedang?

"Kakak aku ingin memegang pedang" Rean menatap bingung adiknya. Tubuh Zalia begitu kecil apakah ia sanggup memegangnya? Tak salah untuk mencoba pikirnya.

Rean memberikan satu pedang yang paling kecil lalu menurunkan Zalia. Dan begitu Zalia menginjakkan kaki ditanah.

Plup! Ia tersungkur ke lantai. Pedang itu terasa sangat berat bagi Zalia. Rean dengan cepat mengangkat Zalia untuk berdiri kembali.

"Sepertinya kau akan menjadi penyihir Zalia" Zalia seketika panik, ia tidak ingin menjadi Penyihir maupun ahli pedang bagaimana ini.

Rean mengajak mereka untuk masuk ke dalam ruangan yang berada dalam ruang itu. Zalia berdecak kagum melihat ruangan itu bernuasa elegan dan banyak buku-buku disana. Matanya tertuju di pusat ruangan. Disana ada sebilah pedang emas yang tertancap diatas batu yang berukuran besar.

"Zalia itu adalah pedang peninggalan turun temurun keluarga kita. Tidak ada yang mampu menarik pedang itu selama berabad-abad...." Saat ingin menjelaskan lagi, seorang pria datang menghampiri Rean. Zalia pun penasaran, mungkin ia bisa mengangkat pedang ini.  Zen yang melihat Zalia mendekati pedang itu melapor pada Rean yang masih berbicara.

"Kak, Zalia ingin mencabut pedang itu!"

"Biarkan saja Zen. Dia tak akan bisa menariknya. Tunggu sebentar" Rean melanjutkan pembicaraannya tanpa melihat apa yang dilakukan adik perempuannya.

Tring! Mata Zalia berbinar atas keberhasilan yang ia lakukan.

"Kakak, lihatlah aku berhasil mencabut pedang ini!" ucap Zalia girang.

"Wah kau hebat...... Eh eh eh! Apaaaaaaaaa!?!!!!!"

To Be continued
Hay guys aku up sesuai janji jgn lupa lupa follow dong lelah author ini demi kalian juga
Vote and komen yah :*

Jalan Dipilih Pedang EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang