Chapter 17

486 56 0
                                    

Di sebuah ruangan yang besar. Terbaring sosok gadis yang belum membuka matanya. Sudah semalaman ia belum sadarkan diri padahal sudah diobati. Cale terduduk di samping kasur dengan terus menggenggam tangan putrinya. Ia sangat menyesal telah memasukkan putrinya ke sini.

"Seharusnya ayah mendengarkan mu nak... Kau pasti akan baik-baik saja di rumah" Lirih Cale yang terus berdoa agar putrinya segera sadar.

Setelah diperiksa ternyata luka cakaran itu beracun membuat Zalia lemah dan tak sadarkan diri. Dokter segera menanganinya, dia juga berkata bahwa sudah tak ada lagi racun hanya tinggal menunggu gadis itu sadar saja.

Seorang lelaki masuk ke ruangan. Cale tak mengindahkannya karena dia tau siapa orang itu. Lelaki itu segere membungkuk di hadapannya.

"Saya meminta maaf sebesar-besarnya Duke! Saya tidak menyangka dia lepas dari pandangan saya begitu saja. Saya akan menangkap pelakunya secepat mungkin" Ucap Vilen yang menjadi pendamping Zalia saat itu.

Kejadian itu bermula saat tiba-tiba asap muncul, lalu setelah itu Zalia hilang dari hadapan Vilen. Dia panik dan terus mencari gadis itu di sepanjang hutan tetapi tak ada tanda apapun dari Zalia. Vilen segera melaporkan hal itu pada pihak akademi. Ujian yang sedang berlangsung dihentikan sementara. Pencatatan Zalia diumumkan ke seluruh Akademi. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, akademi tidak pernah lalai akan keamanan muridnya.

Mereka menduga ada seseorang yang sengaja melakukan hal ini. Pencarian terus dilakukan hingga matahari terbenam. Pihak akademi belum berani melapor pada Duke Axia namun disaat itu juga Duke datang. Duke syok setelah mendengar apa yang terjadi pada putrinya. Ia segera menuju tempat kejadian dan beruntunglah dia karena saat itu juga putrinya berhasil ditemukan meski dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Vilen merasa sangat bersalah. Gadis itu juga ditemukan oleh seseorang yang sangat dekat dengannya. Anexa. Gadis yang berhasil menemukan Zalia di tengah hutan yang gelap. Ia berhasil membuka jalan dengan spiritnya. Dugaan mereka benar, keberadaan Zalia ditutupi oleh suatu sihir yang besar. Hanya sihir cahaya yang dapat menemukannya.

Cale tak merespon perkataan Vilen, ia terus melihat putrinya. Pintu kembali terbuka menampilkan Rean dengan penuh amarah. Ia segera menarik kerah Vilen lalu mengangkatnya.

"Sudah ku katakan jaga adikku! Tapi kau malah lalai!" Teriak Rean penuh amarah.

"Rean! Kecilkan suaramu atau kau tidak akan dapat berbicara selamanya" Ucap Cale dengan tatapan tajamnya.

Rean mendengus kesal lalu melepaskan Vilen. Dia menghampiri adiknya yang masih terkulai lemas di atas tempat tidur. Perasaan baru kemarin dia melihat gadis itu begitu bahagia menikmati es krimnya, kini dia malah tidur tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Dimana Zen?" Tanya Cale melihat Rean datang sendiri.

"Aku di sini ayah" Tepat waktu Zen sampai. Melihat keluarga yang telah berkumpul Vilen memilih keluar daripada menjadi penganggu.

Zen segera melihat keadaan adiknya, Cale mengetahui kemampuan anaknya itu. Dia menyingkir lalu membiarkan Zen menggenggam tangan Zalia. Zen menutup mata membacakan sebuah mantra, cahaya berwarna merah muncul menyelimuti tubuh Zalia. Dan di detik selanjutnya gadis itu berhasil membuka matanya cahaya itupun menghilang.

"Kakak... Ayah...." Lirih Zalia yang baru saja terbangun.

"Nak... Syukurlah kau sudah terbangun" Ucap Cale dengan mata yang berkaca-kaca.

"Zalia. Maafkan kakak yang telah lalai menjaga mu" Sesal Rean dengan nada memelas.

Zen terus menggenggam tangan adiknya. Ia telah melakukan suatu sihir yang hanya bisa digunakan oleh keluarganya yang memiliki hubungan darah. Sihir ini adalah sihir yang diajarkan oleh ibunya. Hanya keturunan dari ibunya saja yang dapat melakukan sihir ini. Ini tak lain sihir penyembuh namun efeknya lebih kuat yang bisa menyelamatkan nyawa seseorang.

Zen menyesal karena saat ibunya sakit dulu dia belum mampu menggunakan sihir ini. Karena daya mana yang digunakan begitu besar yang tak bisa ditampung oleh tubuhnya yang masih kecil. Untunglah sekarang dia bisa menggunakannya pada saat keluarganya membutuhkan bantuan.

"Ayah... Aku ada dimana?" Tanya Zalia lagi. Ingatan terakhirnya dia kehabisan nafas di tengah hutan karena merasakan sakit yang menyebar di seluruh tubuhnya.

"Kau sedang di ruang perawatan akademi, tapi sebentar lagi kita akan pulang" Mata Zalia langsung membulat, memang benar dia ingin cepat keluar dari sini tapi dia hanya mau keluar saat sudah lulus dengan nilai terbaik.

"Tidak ayah!" Zalia langsung duduk, Zen membantunya. Cale cukup terkejut atas respon putrinya.

"Ayah tidak ingin kau terluka lagi Zalia. Kau akan belajar di rumah saja. Ayah akan memilih guru yang terbaik untuk mu" Jelas Cale lagi, Zalia menggelengkan kepalanya.

"Ayah, aku akan lulus dengan nilai terbaik di sini. Bukankah ayah lihat sendiri, bagaimana aku membunuh monster itu?" Zalia berusaha meyakinkan ayahnya.

"Zalia, kami tau kau memiliki kemampuan tidak biasa. Tapi kau juga manusia yang terkadang memiliki celah. Seperti ini kau terluka bukan? Kami sangat mengkhawatirkan diri mu" Ucap Rean menyetujui saran sang ayah. Tentu saja Zalia tak akan menang melawan dua orang. Ia melirik Zen yang masih menggenggam tangannya.

Seakan mengerti kode dari adiknya, Zen hanya tersenyum lembut. Dia menggenggam erat tangan Zalia seakan berkata tidak apa-apa karena dia berada di sisinya.

"Ayah, kakak, Zalia tidak akan terluka lagi. Aku menjamin hal itu, karena selama Zalia di sini aku akan melindunginya"

"Apa maksudmu Zen?"

"Ayah, karena masalah ini aku akan meminta untuk meneliti di akademi. Kasus ini sama dengan kasus yang sedang aku teliti, pihak menara juga pasti akan mengijinkan hal itu" Jelas Zen tersenyum manis ke arah Zalia. Seakan energinya sudah kembali, dengan riang Zalia menghamburkan pelukannya kepada Zen.

"Wah! Terima kasih kak Zen!" Riang Zalia. Cale hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dia juga melihat gadis itu tampaknya sudah baik-baik saja, lagi pula Zen juga pernah ke akademi dan lulus dengan nilai terbaik.

"Baiklah. Tapi kami akan menjagamu di sini selama dua hari lagi" Ucap Cale, Zalia tersenyum riang.

"Ayah, aku juga akan bertugas menyelidiki ini dan tinggal di akademi" Ucap Rean dengan percaya diri dan langsung mendapatkan pukulan di kepalanya.

"Tidak boleh. Kau akan tetap di rumah, banyak yang harus kau selesaikan Rean!" Tatap tajam Cale setelah melayangkan pukulan pada anak sulungnya itu.

Setelah itu Zen pamit untuk mengurus hal-hal untuk tugasnya. Dia membuka pintu, namun ada hal yang tak terduga menimpanya.

BRUK!

Zen jatuh terlentang ke belakang dengan seorang gadis berambut pirang yang berada di atasnya. Gadis itu tampak terkejut, dia melihat wajah Zen dengan tatapan malu bercampur rasa bersalah.

"Ma-maafkan sa-saya tuan"

To Be Continued

Jalan Dipilih Pedang EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang