Duduk di teras menatap papahnya yang sibuk menyusun barang di bagasi mobil, Rea yang hanya menonton di dekat mobil, dan Adeen yang mondar-mandir mengoper bareng ke Marva.
Ainsley hanya diam dengan mata yang mengikuti pergerakan semua orang, hatinya sibuk menahan diri untuk tidak mengumpati mereka semua. Ainsley mendongak merasa mendapati sosok abangnya berdiri di hadapannya, dia mendongak menatap Aileen yang juga sedang menatapnya.
"Apa?"
"Hanya lima hari, nanti Abang pulang bawa oleh-oleh," sahut Aileen sembari berjongkok menyamai posisi Ainsley yang sedang duduk.
"Apakah aku terlihat peduli?" tutur Ainsley menusukkan tatapan tajam kepada Aileen.
"Maaf, Abang gak bisa bujuk Papah."
Ainsley memutar bola matanya malas. "Sekali lagi aku katakan, apakah aku terlihat peduli?" Kali ini nada suaranya sedikit meninggi, mengundang atensi kedua orang tuanya. Ainsley berdecih, lalu bangkit menatap kedua orang tuanya yang juga sedang menatapnya.
"Cepatlah pergi, aku muak melihat kalian semua!" Percayalah saat ini Ainsley sedang menahan tangis, rasa marah, kecewa menguasai dirinya. Sungguh sangat sakit melihat keluarganya berlibur, dan ingat ... sudah tentu tanpa dirinya.
Ainsley berlalu pergi, Aileen menatap kepergian adiknya dengan tatapan sendu. Rasa bersalah menyelimuti dirinya, rasa tak bisa diandalkan sebagai Abang membuat dirinya kalut.
"Ayo, Aileen!"
Aileen tersentak, segera ia menghampiri papahnya.
"Jangan salahkan Ainsley yang akan menjadi keras karena sikap kalian, dia begitu karena kalian. Aku sudah berusaha membujuk Papah untuk mengikut sertakan Ainsley dalam liburan ini, tapi apa? Percuma saja, aku yang tidak bisa banyak menentang, dan Ainsley yang terlalu bersifat pasrah dengan keadaan," tutur Aileen, dan berlalu memasuki mobil yang akan mereka naiki.
Rea juga sudah memasuki mobil dari tadi, tersisa Marva yang diam menatap Ainsley dari bawah. Putrinya sedang berada di balkon, menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit ia artikan. Hati Marva menjadi tak karuan kala Ainsley memberinya senyuman hangat dari atas sana, menatap mulut sang anak yang bergerak, mengatakan "Pergilah."
Marva kalut, hatinya tak karuan, perasaannya gundah, dirinya segera menggeleng cepat dan memasuki mobil mereka. Bayang-bayang senyuman Ainsley masih berada dibenaknya, perasaan bersalah? Ahh, itu tidak mungkin fikirnya.
Mobil yang ditumpangi Aileen, dan kedua orang tuanya melaju pergi. Ainsley menatap nanar kepergian mereka, satu tetes air mata berhasil lolos dari mata sayunya, bibirnya tersenyum kecut, lalu menatap ke arah bawah cukup lama.
"Ayo lompat!"
"Enggak-enggak! Bisa mati kalau lompat."
"Bukankah lebih baik mati? Kau tidak dianggap bodoh!"
Terdiam, suara sialan itu sungguh sangat mengganggunya akhir-akhir ini. "Diam! Jangan mempengaruhiku."
"Dengan mati, mereka bahagia."
"Lompat saja."
"Lompat!"
"Lompat!"
"Jatuhkan dirimu ke bawah, dan kau akan damai selamanya."
Tak sadar, kaki Ainsley sudah naik ke atas pagar, hampir saja hal itu akan terjadi, tapi untung saja suara satpam yang menjaga rumahnya menyadarkan dirinya.
"Apa yang kau lakukan, Nona?! Turunkan kakimu!"
Ainsley bergetar, kakinya segera ia turunkan dari batas pagar. Air matanya meluruh, dengan langkah pelan dirinya memasuki kamarnya. Berdiam diri cukup lama, sampai akhirnya....
"Arghhhhh!"
"Suara sialan, lo hampir aja buat gue mati!"
"Itu tujuanku, mati membuatmu damai."
"Diam lo, berhenti bicara!" pekik Ainsley frustasi.
Dirinya menangis sejadi-jadinya, dengan kondisi yang sangat-sangat kacau. Rambut kusut karena ia acak-acak, baju berantakan, mata yang sudah mulai membengkak, sungguh sangat prihatin.
"Lihatlah dirimu, sangat menyedihkan. Anak tak dianggap."
Prang!
Suara pecahan kaca yang sangat keras, vas kaca yang dilemparnya menghantam kaca rias yang berada di depannya.
"Arghhhhh!"
Suara itu lenyap tepat di saat kaca di depannya pecah, tak lagi terdengar. Ainsley masih menangis, dirinya sangat-sangat menyedihkan.
"Apakah benar yang dikatakan suara itu? Mati membuatku damai?"
Lelah menangis, tak berselang lama Ainsley tertidur. Di antara pecahan kaca di lantai dia tertidur, akibatnya sedikit melukai kulit Ainsley.
***
Drtt....
Drtt....
"Eunghh," lenguh seorang gadis dengan penampilan yang berantakan, tangannya meraih handphone miliknya yang berada tak jauh darinya.
"Halo, who?" tanyanya dengan suara parau.
"Dek?" Suara yang tak asing di telinganya, membuat Ainsley membuka matanya yang semula masih memejam.
Dia segera duduk, masih di posisi yang sama seperti pagi tadi, di lantai kamarnya yang terlihat berantakan.
"Dek? Kok gak dijawab?" Lagi, suara itu kembali membuat Ainsyley tersadar.
"Apa."
Terdengar dengan jelas suara abangnya yang menghela nafas, Ainsley hanya diam tanpa niat membuka suara sedikitpun sebelum ditanya.
"Gimana keadaannmu?"
"Baik." Ainsley menjawab pertanyaan dari Aileen.
"Gak bakalan lama Abang di sini," ucap Aileen.
"Gaada yang nanya."
Tuutt....
Ainsley mematikan sambungan telfonnya secara sepihak, dia muak, kupingnya terasa panas saat mendengar suara kedua orang tuanya tertawa bahagia tanpa dirinya. Bahkan, di saat Aileen menelfon dirinya, tidak ada sedikitpun mereka berdua bertanya tentang keadaan Ainsley sekarang.
"Cih, lama-lama gue muak dengan semuanya. Capek ngemis perhatian, capek berusaha dikasihani, tapi hasilnya tetap sama aja."
TBC....
Vote&komen cuyyy, jangan lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Favor
Teen Fiction(TIDAK JADI HIATUS, KEMBALI SEPERTI SEMULA. ON GOING!) ~~~~~~~~~~~~~~~ "Ini bukan makanan kesukaan aku, Mah!" "Sampai kapan Mamah gini terus? Sampai-sampai makanan kesukaan aku aja Mamah gak tau!" "Bang Ileen, Bang Ileen, Bang Ileen terus! Akunya k...