Malam Tamaram (21+)

6.9K 154 3
                                    

Note : Mungkin cerita di bab ini akan sedikit membakar adrenalin kalian. Aku sarankan untuk yang di bawah umur menghindari satu bab di bawah ini, ya. Aku berusaha untuk membuat kalimatnya selembut mungkin agar tidak terkesan seperti cerita p*rn*.

"Kau membuatku tidak bisa melupakanmu. Tatapan kecewa itu membuatku seolah menjadi pria paling jahat di dunia ini. Bukankah seharusnya aku senang saat kau mulai menghindariku, tapi kenapa aku terganggu dengan itu? Kenapa aku tidak suka melihatmu mengabaikanku? Kenapa?" Tahta menyandarkan kepalanya pada Cinta yang masih diam mematung.

Cinta memasang ekspresi bingung, lalu tersenyum kecut dengan bibir bergetar. "Lalu ... apa sekarang kau menyesali semua perbuatanmu? Kau berpikir untuk menjadi suami yang bertanggung jawab setelah melakukan hal itu? Hoh, tidak perlu, Tahta. Aku tidak pernah sedikitpun marah atau benci padamu. Aku juga tidak menuntut apapun darimu."

Cinta mengangkat tangan Tahta yang masih melingkar di pinggangnya. Sedikit mendorong dada bidang Tahta yang menempel di punggungnya ke belakang, dan melepaskan diri dari dekapan pria tersebut.

Cinta berbalik menatap netra hitam Tahta yang begitu tajam. "Jangan memberikan harapan apapun jika kau tidak bisa mempertanggungjawabkan semua ucapanmu. Jangan pernah membangun hubungan di atas hubungan yang lain."

"Aku akan mengakhiri hubungan itu," ujar Tahta tanpa ragu.

Cinta terkesiap. Alisnya terangkat ke atas dan darahnya seolah berhenti mengalir. Iris mata wanita itu tertuju pada netra Tahta seolah tengah membakar pria di hadapannya tersebut hanya dengan sebuah tatapan menyelidik.

Apa dia memang segila ini? Kenapa aku tidak pernah melihat kegilaannya ini sebelumnya? Rasanya baru kemarin dia mati-matian mempertahankan hubungannya dengan wanita itu, dan sekarang ...? Hah! Cinta menghela napas dan memalingkan wajahnya dengan malas dari Tahta.

"Sudahlah, aku tidak mau membuang waktu berhargaku ini untuk sesuatu yang tidak pasti. Bukankah kita sudah membuat kesepakatan, dan itu hanya tinggal sebentar lagi. Aku yakin kau bisa menekan rasa bersalahmu itu, Tahta."

"Apa tujuanmu saat ini hanya untuk berpisah denganku secepatnya?"

"Bukankah itu yang kau mau dulu? Dan sepertinya kurang tepat jika kau bersikap seperti ini pada tamu mu, kan?" Cinta mengulang ucapan Tahta yang pernah dia lontarkan dulu, seolah tengah melontarkan ejekan.

Tahta tidak berbicara, hanya maju dan berhambur masuk, memeluk Cinta, dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan Cinta itu mengambang di udara.

Cinta terkesiap karena ini pertama kalinya pria itu praktis menyentuhnya dengan seluruh tubuhnya tanpa ragu. Pria itu menelusupkan wajahnya di ceruk leher Cinta, menghirup aroma wanita itu dan mempererat pelukannya.

Berada dalam pelukan Tahta, rasanya seperti ... pulang ke rumah dan kehangatan yang lama tidak dia rasakan dari ayahnya terakhir kali, seolah kembali. Cinta mendadak merasa ujung matanya memanas.

Apa kali ini aku bisa mempercayainya? Aku takut ini hanya ilusiku saja. Tapi hatiku tidak bisa menolaknya, aku ingin mendapatkan lebih. Aku tidak mau mundur lagi jika sudah sejauh ini. Aku tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti dan aku juga tidak mau tau, batin Cinta dengan air mata yang sudah bergelayut manja di ujung netranya. Dia menyentuh perlahan punggung Tahta, dan pria itu membiarkannya. Perasaannya menjadi lega dan seolah bunga sedang bermekaran di sana.

Deg-deg-deg.

Degup jantung Tahta terdengar memburu, menyelusup masuk ke indera pendengaran Cinta. Dia memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Tahta. Kini, semua yang terjadi sebelumnya seolah hanyalah sebuah mimpi buruk ketika dia masuk ke dalam rengkuhan lengan Tahta.

Dunia seolah terhenti, hanya ada mereka berdua di dalamnya. Tahta menepuk pelan punggung Cinta dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya mengelus lembut rambut Cinta yang tergerai.

Cinta merasakan wajahnya menghangat. Dia sungguh tidak terbiasa diperlakukan sebegitu lembut setelah kepergian orangtuanya. Dia sebelumnya adalah pelindung untuk Nana, dan sekarang dia serasa tengah berlindung pada Tahta.

"Aku tulus saat aku mengatakan ingin memulainya. Sedikit demi sedikit, aku akan membuatmu percaya padaku," bisik Tahta diiringi anggukan Cinta yang sudah berlinang air mata.

Tahta meraih pipi Cinta dengan lembut. Mengarahkan wajah yang sembab itu agar menatapnya. Pandangan mereka bertemu. Cinta mengulum senyum harunya di depan mata Tahta. Senyum yang membuat hati Tahta serasa tercabik. Mata bening dan berair itu seolah sedang menusuknya dengan sejuta kenangan pahit yang pernah dia tinggalkan.

Perlahan, pria itu menundukkan wajahnya menipiskan jarak di antara keduanya. Cinta masih membisu saat Tahta mempertemukan bibir mereka dengan lembut. Dia terkesiap sejenak dengan mata yang melebar, tapi segera memejamkan mata indahnya. Menerima perlakuan lembut yang berbeda jauh dari awal penyatuan mereka dulu.

"Bisakah kita ...." Ucapan Tahta menggantung dan disusul anggukan perlahan nan elegan dari istrinya.

Pria itu dengan ringan mengangkat tubuh sintal itu dan membawanya naik ke atas. Dengan pipi yang sudah semerah tomat, Cinta menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Tahta. Mempererat pelukannya di leher berorot pria bertubuh kekar tersebut.

Semuanya telah berlalu, hujan membadai, malam temaram, serta segala sendu serta kesah di hati mereka. Lelaki dan perempuan itu masing-masing telah luluh, seakan keduanya adalah api yang membakar lilin. Semua sendu itu sirna, segala pilu itu tiada.

Maka malam ini terasa sempurna, rindu akan dituntaskan laiknya sebuah dendam. Di luar jendela yang terbuka, rembulan pucat pias seakan cemburu. Pada akhirnya segala rindu itu luruh bersama tiap kecupan, tak ada lagi kata-kata selain belaian, sentuhan.

Pada akhirnya semua bahasa hanyalah menjelma baru, ucapan cinta diterjemahkan sang perempuan dengan membiarkan dirinya terbuka, dia luluh, dia adalah lilin yang terbakar. Sang lelaki dengan tubuh sekeras dahan kayu, dirinya menjelma jadi belukar yang terbakar. Dia panas dan membara.

Perempuan itu terbuka, dia membiarkan dirinya dimasuki. Lelaki itu membara, maka dirinya pun memasuki. Suara keduanya menjelma lagu, rintih bersambut desah, erang berbalas lirih. Semua menyatu dalam ketidakberdayaan.

Di luar sana rembulan membisu, kata-kata telah kehilangan maknanya. Perempuan yang dimasuki, lelaki yang memasuki. Bahasa cinta tentang cinta menjelma dari yang awalnya kata menjadi tindakan nyata. Lelaki dan perempuan itu terbakar, namun tubuh mereka basah.

Mereka terkulai berbalut keringat yang seolah diguyurkan ke tubuh keduanya. Tahta membawa wanitanya masuk ke dalam dekapan. Membiarkan wanita itu melepas letih di dalam pelukannya. Mengatur ritme permainan agar tetap bisa menyeimbangkan tenaga keduanya itu sangat sulit bagi Tahta. Dia ingin memburu, tapi tidak tega membiarkan Cinta terlalu menguras energinya. Namun sayang, dia tidak bisa, dan pada akhirnya sifat liar dalam dirinya bangkit. Mengoyak seluruh tubuh lawannya hingga tak bersisa.

Bersambung ....

___________________

Hai, reader. Please, beri aku semangat untuk lanjutin cerita di WP dengan memberikan vote dan komen. Aku harap kalian mau mensupport aku di sini. Thanks.

[NOT] A Perfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang