Cinta menyeruput teh dari cangkir berwarna putih dengan tatapan mata nanar. Seolah tidak ada semangat untuk hidup di kedua netra wanita cantik bertubuh proporsional tersebut. Dia meletakkan perlahan benda yang terbuat dari keramik tersebut, dan matanya berkeliling menyapu seisi ruang tamu. Ya, dia sedang bertamu ke rumah mertuanya. Rumah yang biasanya dia datangi dengan perasaan gembira, kini seolah menjadi rumah yang menyimpan sejuta luka.
"Kamu sudah menunggu lama, Nak?"
Laras muncul dari balik dinding pemisah ruangan. Seperti biasa, style wanita yang sudah berumur itu selalu terlihat elegan meskipun berada di rumah seharian. Karena sore itu cuaca terasa sedikit panas, Laras mengenakan dress selutut berlengan pendek dengan motif bunga-bunga. Riasannya juga terlihat simpel, tapi tidak menghilangkan sisi elegan dari dirinya, ditambah dengan rambut pendeknya membuat Laras terlihat lebih muda dari usianya.
"Tidak lama, Ibu." Senyum tipis terukir di wajah ayu Cinta.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
"Emm ... Cinta ingin tahu tentang perkembangan penyeledikan Bella," ucap Cinta yang nampak ragu untuk menatap ibu mertuanya.
"Apa dia melakukan sesuatu padamu? Ibu sudah berusaha memata-matai wanita j*lang itu selama dua puluh empat jam, tapi ibu belum menemukan bukti perselingkuhannya sama sekali. Aku akan meminta Zein memberikan pelajaran jika sampai anak itu menyakitimu, Cinta."
Cinta memainkan jari-jarinya, dengan mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Ada hal yang ingin disampaikannya, tapi perasaan ragu tiba-tiba saja menyeruak di hatinya.
"Katakan ada apa?" tanya Laras sekali lagi dengan tatapan menuntut.
"Tahta mengajukan permohonan perceraian. Seminggu yang lalu dia memberikan formulir perceraian padaku."
Laras membeliakan mata mendengar jawaban Cinta. "Beraninya anak itu," geram Laras.
Wajah Laras memerah padam, bahkan matanya seolah bisa mencabik musuh hanya dengan sekali pandang. Dia bahkan sampai mengetatkan rahang menahan emosi yang hampir membuatnya meledak-ledak itu. Laras benar-benar tidak habis pikir dengan perubahan sikap putranya. Tahta dulu adalah anak yang penurut dan penuh kasih sayang. Bagaimana bisa serigala perempuan itu menguasai putra satu-satunya itu.
"Lalu bagaimana menurut, Ibu?" Pertanyaan Cinta membuat Laras kembali tersadar dari cengkraman bara api di hatinya.
"Apa kau masih bisa bertahan sedikit lebih lama lagi, Nak? beri aku waktu enam bulan. Jika sampai saat itu Tahta masih belum sadar dengan kesalahannya, aku akan membiarkanmu pergi darinya," pinta wanita paruh baya tersebut dengan penuh harap.
Kembali Cinta hanya bisa mengangguk pasrah dengan senyum sumirnya. Rasanya sungguh tidak berdaya untuk menolak permintaan wanita yang sudah seperti ibunya sendiri tersebut. Dia akan tetap melakukannya, meskipun dia tahu ini salah. Dia tahu tidak akan ada yang didapatkannya selain rasa sakit dan kehancuran, tapi dia juga sadar, tidak ada cara lain untuk menghentikan Tahta menikahi Bella selain cara ini. Tidak ada cara lain untuk bisa dekat dengannya selain menuruti permintaan Laras yang penuh resiko ini.
Mereka pada akhirnya memilih untuk bercengkerama, mengingat kenangan yang penuh tawa. Hingga tanpa sadar waktu terlewat begitu saja. Matahari sudah menyingsing ke peraduannya, dan membiarkan bulan menampakkan wujud yang belum sempurna.
Cinta mengarahkan ujung netranya ke jam yang menempel di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Wanita muda dan ibu mertuanya yang baru saja menyelesaikan makan malam itu berjalan beriringan menuju ruang depan.
"Ibu, Cinta pulang dulu, yaa," pamit Cinta dan mencium tangan Laras dengan lembut.
"Hati-hati di jalan, Nak. Ingat untuk bilang padaku jika anak itu melakukan hal buruk padamu."
Cinta mengangguk perlahan dan melempar senyum manisnya. Dia melangkah pergi meninggalkan rumah besar tersebut dengan perasaan berkecamuk. Cinta melirik amplop coklat yang tergeletak di kursi penumpang.
Apa yang akan Tahta lakukan jika aku tidak segera menyerahkan berkas itu? Apa dia akan memaksaku dan mencaciku lagi? Aku harus bagaimana, Tuhan? Apa aku harus melepasnya dari genggaman? Ini menyakitkan, rasanya aku seperti sedang menggenggam tangkai mawar yang penuh duri.
Cinta melangkah lemah menyusuri lorong menuju apartemen suaminya. Langkah wanita itu terasa berat, enggan untuk kembali ke tempat yang tidak bisa dia sebut sebagai rumah tersebut. Tempat yang bahkan udaranya saja terasa mencekik lehernya setiap saat. Dengan lesu, dia menekan tombol untuk membuka kunci pintu. Mata Cinta sempat melirik ke arah jam yang menempel di tangannya, baru pukul delapan lewat tiga puluh menit. Ini belum waktunya Tahta untuk kembali, dia biasanya akan pulang jika sudah tengah malam, pikir Cinta. Dengan segera wanita yang mengenakan dress berwarna biru muda itu membuka pintu saat kunci terbuka.
Baru saja Cinta melangkah masuk, dia sudah disambut dengan pemandangan yang membuat matanya membulat sempurna. "Kau?"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
[NOT] A Perfect Marriage
RomanceCinta tergila-gila pada Tahta, tapi Tahta sama sekali tidak pernah memandangnya sebagai seorang wanita yang bisa dia cintai. Mereka mungkin sering terlihat bersama, tapi perasaannya keduanya jauh berbeda. Tahta sama sekali tidak menginginkan Cinta s...