Merasa Terabaikan

5.2K 168 3
                                    

Seorang wanita tengah duduk termenung sendirian di sudut ruangan dekat jendela kaca besar dengan tirai mewah berwarna coklat. Nampak beberapa orang hilir mudik di sekitarnya. Ada yang datang kemudian mengambil tempat duduk di meja seberangnya, ada pula yang beranjak meninggalkan tempat dengan alunan simfoni Cinta tersebut. Sesekali, wanita yang mengenakan dress yang bagian atasnya terbuka hingga memerlihatkan belahan dada itu melirik jam di pojok kanan ponselnya. Waktu menunjukkan pukul tujuh tepat.

Dia mengembuskan napas panjang sembari meletakkan cangkir kopi di tangannya. Wanita itu sudah menunggu cukup lama hingga isi cangkir itu terlihat tinggal separuh.

"Hai, Bebi," sapa seorang pria yang baru saja tiba dan dengan sekonyong-konyong mengecup keningnya.

Wanita itu dengan cepat mendorong tubuh pria tersebut menjauh darinya. "Apa kau gila?" kesalnya menatap tajam pria dengan pakaian formal di hadapannya.

"Kau tidak lihat banyak orang di sekitar sini? Bagaimana kalo sampai mereka memotret kita. Jangan bilang kau lupa statusku saat ini?"

Pandangan pria itu seketika berubah menggelap. Dia mengambil tempat duduk di seberang Bella. Duduk di kursi berwarna putih itu dan menatap tajam ke arah wanita yang masih berstatus kekasihnya tersebut.

"Aku pikir kau sudah lupa pada janjimu setelah menjadi Nyonya Mahardika," sindir Bimo dengan nada sinisnya.

Bella memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan yang dianggapnya konyol tersebut. Wanita itu kemudian menyerahkan sebuah flashdisk pada Bimo.

"Ini rencana pembangunan proyek danau biru. Aku belum bisa mendapatkan berkas lahan dan rencana keseluruhan proyek karena waktuku terbatas."

Senyum licik mengembang di bibir Bimo. Dia menatap penuh arti pada benda berukuran kecil berwarna hitam tersebut. Meskipun dia keberatan dengan rencana yang dibuat Bella, tapi melihat hasil Bella membuat pria berambut pendek itu sedikit senang.

"Terima kasih, Bebi. Kau harus menjaga anakku dengan baik," ujar Bimo mengusap lembut punggung tangan Bella.

Heh! Jika bukan karena mengamankan posisiku dan karena Tahta sudah tidak tertarik lagi padaku, mana mungkin aku melakukan ini. Setidaknya aku harus memiliki salah satu dari kalian jika sampai Tahta mendepakku, batin Bella sembari mengalihkan pandangan dengan malas.

Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam untuk berbincang. Tanpa keduanya sadari ada sepasang mata yang menatap intens ke arah mereka dari kejauhan. Sembari bersenda gurau dengan teman-temannya, pemilik mata bening itu mencuri pandang pada sepasang kekasih gelap tersebut.

----------------

Sinar matahari yang berad tepat di atas kepala, begitu terasa membakar permukaan kulit. Orang-orang yang tengah sibuk di tengah perkebunan bahkan sampai menggunakan pakaian panjang dan topi lebar untuk melindungi kulit mereka dari paparan matahari.

Begitu pula Cinta. Wanita cantik dengan rambut dikucir kuda itu terlihat sibuk menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Dia baru saja mengecek tanaman bunga potongnya. Beberapa pegawai yang direkomendasikan oleh Rudi terlihat sibuk berlalu lalang di perkebunan bunga milik Cinta tersebut, ya. Wanita itu menjajal bisnis bunga potong. Di area itu sudah sangat banyak perkebunan sayur. Dia ingin mencoba hal baru.

Netra gadis itu berkeliling menyapu setiap sudut perkebunan dari ujung ke ujung. Sepertinya ada yang sedang dia cari.

"Kak?" sapa Nana yang muncul dari arah belakang.

"Baru bangun, Na?" tanya Cinta dengan nada mendayu seolah tengah mengejek adiknya.

"Iih, sok tau. Aku bersih-bersih rumah, habis bingung mau ngapain. Ke rumah Tante Mira juga nggak ada orang. Kakak lagi ngapain sampai siang nggak pulang-pulang?"

"Rudi nggak kelihatan dari kemarin," jawab Cinta dengan mata yang masih tertuju pada area perkebunan Rudi.

"Ooh, di rumah juga nggak ada kemarin."

Cinta dengan cepat menoleh. Menatap adiknya dengan penuh tanya. Tiba-tiba matanya membelalak lebar. Dia teringat pernyataan cinta pria itu kemarin lusa.

"Na, kakak mau pergi dulu, ya. Kalo orang-orang butuh sesuatu kamu urus dulu sebentar," seru Cinta yang sudah berlalu meninggalkan Nana di tengah hamparan pohon mawar.

Wanita yang tengah mengenakan celana jeans dan blouse berwarna biru tua itu memacu motor maticnya menuju sebuah rumah di ujung jalan. Dia melewati rumahnya dan beberapa rumah lainnya di jalan utama desa tersebut dan berhenti di sebuah rumah berwarna putih dan terlihat paling besar dan menonjol di antara rumah lainnya.

"Selamat siang, Tante," sapa Cinta saat melihat Mira yang tengah memainkan ponselnya di teras rumah.

"Eh, Cinta ... tumben main ke tempat tante. Mari masuk," ucap Mira ramah sembari berdiri menyambut kedatangan Cinta.

"Itu, Tante ... Rudi ada?"

"Dia sedang pergi ke kota sama Rumi."

Cinta seketika terdiam. Perasaan aneh seolah tengah kecewa tiba-tiba saja menyergapnya. Cinta membuat ekspresi murung sesaat sampai akhirnya dia kembali tersadar, Mirna tengah menatapnya. Wanita itu kembali mengembalikan ekspresinya yang tenang dan bersahaja.

"Kalau begitu Cinta pamit pulang dulu, Tan." Cinta tersenyum sumir dan berbalik dan lesu. Biasanya Rudi selalu memberitahunya jika akan pergi, tapi kali ini dia bahkan menghilang begitu saja sejak dua hari yang lalu. Cinta merasa dirinya tengah diabaikan. Entah sejak kapan perasaan itu ada, tapi sejak hari-harinya terbiasa akan kehadiran Rudi. Seolah menjadi hari yang berat jika pria itu tidak menampakkan batang hidungnya.

Dasar semua pria sama saja. Aku pikir dia tulus kemarin, ternyata tidak ada bedanya dengan pria itu, batin Cinta.

"Cinta," panggil Mira tiba-tiba dan membuat wanita yang tengah gundah itu berbalik dengan cepat.

"Rudi sebenarnya ...." Mira terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Ikutlah denganku sebentar," sambung Mira.

"Ke mana, Tante?"

"Mari ikut tante." Mira tak menjawab pertanyaan Cinta dan mengabaikan tatapan penuh tanya wanita itu. Dia memilih berjalan masuk agar Cinta mengikutinya.

Wanita paruh baya itu berhenti di depan pintu sebuah kamar yang ada di lantai dua rumahnya. Ruangan itu adalah satu-satunya kamar yang ada di lantai dua. Mira menghela napas panjang, menoleh ke arah Cinta yang berdiri di belakangnya penuh tanya.

"Masuklah," ucap Mira sembari membuka pintu kamar yang ada di hadapannya.

Cinta melangkah perlahan melewati Mira. Dia menginjakkan kaki ke dalam ruang dengan lampu tamaram tersebut.

Click!

Kamar berukuran 6x6 meter itu kini menjadi terang saat Mira memencet saklar lampu di dekat pintu. Cinta membelalakkan mata lebar-lebar seiring dengan terangnya ruangan tersebut. Netranya terfokus pada sebuah sudut yang begitu mencolok dan menyita perhatian.

Bersambung ....


****************


Haloo, Gaes.
Maaf, yaa kemarin Simi nggak bisa update karena sedang ada something. Mohon dimaklumi, yaa.

Sehat selalu, ya. Ingat untuk patuhi protokol kesehatan dan jaga imunitas tubuh. Lope lope sekebon buat kalian, My Shining Star.

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di setiap kolom komentar, yaa.

[NOT] A Perfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang