"Pertemuan dan perpisahan itu sudah terjalin dalam benang merah kehidupan. Kita tidak mungkin menghindar dan tak bisa pula menyangkal."
Laras terduduk lemas di kursi sembari memegang tangan putranya. Tenaganya benar-benar sudah tidak mampu menahan beban tubuhnya lagi. Seluruh anggota badannya serasa mati rasa saat membayangkan kondisi kedua putranya."Sam, kenapa anak itu bodoh sekali. Kenapa dia harus berlari menghalangi peluru itu untuk ibu yang tidak berguna sepertiku." Sam, asisten pribadi Gema yang berdiri di sisinya hanya bisa menatap iba pada Laras.
Pria paruh baya itu sendiri juga tidak menyangka Tahta yang biasanya tidak peduli dengan semua hal tentang Gema itu akan melakukannya hal tersebut. Ini adalah pertama kalinya Paman Sam melihat Tahta begitu khawatir pada Gema saat John menghajarnya. Ingatan Paman Sam kembali pada saat sebelum terjadi penyergapan.
Paman Sam terlihat kebingungan mencari Gema. Dua mobil polisi juga sudah ikut mencari petunjuk lokasi penculikan, tapi mereka belum menemukan apapun. Namun, pria yang terlihat tidak begitu peduli pada adiknya itu tiba-tiba menelpon dan memberitahu lokasi penculikan. Dia bahkan sudah membuat rencana untuk menyelamatkan mereka.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Paman Sam, tanpa berpikir panjang pria itu langsung menuju lokasi yang ditunjukkan di pesan tersebut. Di sana Tahta sudah berdiri di balik pohon di kegelapan malam. Paman Sam segera menghampirinya. Saat pria tua itu melihat ke arah pandang Tahta, matanya membelalak lebar. Gema sedang bertarung mati-matian.
Tangan Tahta terkepal erat dan rahangnya mengeras saat melihat adiknya terduduk lemah dengan darah segar mengalir dari mulutnya. Dia sudah hampir melesat keluar, tapi Paman Sam mencegahnya.
"Kita tunggu polisi bersiap di tempatnya, Tuan. Mereka sudah bergerak."
"Ibu," cicit pria yang tengah terbaring lemah tersebut membuyarkan lamunan Sam dan menyita perhatian semua orang.
"Hei! Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu padaku?" kesal Gema karena tidak terima dengan sikap kakaknya.
"Kenapa kau menangis lagi, Bu? Apa anak bodoh itu membuatmu menangis lagi?" tanya Tahta sambil mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Laras.
Laras hanya menggeleng dengan senyuman kecil di antara derai air matanya.
"Kau mengabaikanku? Setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau mengabaikanku lagi? Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya aku melihat kakakku terkapar tak berdaya? Aku bahkan hampir membunuh mereka karena sudah berani melukaimu." Gema dengan kesal berbicara panjang lebar karena sudah memanggil kakaknya sedari tadi namun dia malah memalingkan muka ke arah Laras.
"Aku bukan mengabaikanmu. Aku hanya merasa akan semakin sakit jika membuka mata dan yang aku lihat pertama berandalan sepertimu," ketus Tahta dan Gema hanya mendesis kesal mendapati jawaban kakaknya.
Hal itu membuat Laras, Paman Sam, dan Nara tersenyum kecil. Sekarang mereka tahu, kakak beradik itu sebenarnya sama-sama saling peduli hanya saja mereka terlalu gengsi untuk menunjukkannya.
----------------
Hari-hari yang kita lewati akan terasa lebih berarti saat bisa melihat senyum dari orang-orang yang kita cintai. Begitupula bagi Tahta. Sudah seminggu dia terkapar di rumah sakit karena luka tembaknya. Namun, mulai hari itu juga dia dapat merasakan kehangatan dan senyuman ibu dan adiknya setiap hari menggoda istrinya. Ditambah kenyataan bahwa ibunya tak lagi marah dan menjauhinya lagi karena kebodohannya sendiri. Senang? Tentu saja. Setidaknya beban di pundak Tahta bisa sedikit terangkat meskipun dia harus kehilangan kekayaan, tapi itu benar-benar bukan masalah baginya."Haloo selamat siang," sapa Nara yang baru saja membuka pintu. "Apa kita pulang sekarang?"
"Sayang kenapa kau lama sekali, aku sudah sangat khawatir padamu," keluh Gema dan dengan segera menghampiri istrinya.
Tahta hanya memutar bola matanya kesal melihat tingkah Gema. Dia mengalihkan perhatian pada Laras yang sudah bersiap di sisi ranjangnya.
"Ayo, Sayang kita pulang," ajak Laras dan membantu putranya turun dari ranjang.
"Apa kau mau menggunakan kursi roda, Kak? Aku akan mengambilkannya untukmu?" tawar Gema yang setengah mengejek.
"Aku tidak selemah dirimu."
Tahta berjalan keluar perlahan diiringi oleh Paman Sam dan Laras di sampingnya. Gema dan Nara juga mengekori mereka dan tidak lupa tangan Gema yang tidak mau lepas dari pinggang ramping istrinya. [Kisah Gema & Nara di novel TERJERAT PERNIKAHAN di aplikasi Noveltoon gratis]
----------------
Sementara itu, di lokasi yang sama dan waktu yang sama pula, seorang wanita tengah berjalan terburu seolah ada seseorang yang mengejarnya. Dia terus melangkah lebar menyusuri koridor rumah sakit tanpa mempedulikan kanan kiri. Langkahnya begitu cepat dan pasti. Sampai saat netranya menangkap beberapa sosok manusia yang begitu familiar tengah berjalan berlawanan arah dengannya.
"Cin–ta?" ucap Laras dengan sedikit terbata seiring dengan langkah mereka yang semakin melmban dan berakhir saling berhadapan.
Cinta tak menjawab. Dia masih terlihat menatap nanar ke arah Tahta begitupun dengan pria bertubuh atletis. Tahta bahkan sama sekali tak berkedip menatapnya. Debaran jantung dua insan yang pernah saling terhubung dalam sebuah ikatan itu seakan bisa membuat dada keduanya meledak.
Wanita yang tengah mengenakan jumper dress dengan model melebar di bagian pinggang hingga ke lutut dan rambutnya yang lurus tergerai itu, membuatnya terlihat modis bahkan hampir seperti anak kuliahan. Cantik. Anggun, Hanya kata itulah yang bisa terlintas saat melihatnya. Siapa yang akan menyangka usia wanita itu sudah hampir kepala tiga dan memiliki dua bocah lucu.
"Kakak Ipar?" seru Gema yang akhirnya membuat kesadaran wanita itu kembali.
"Tante?" ucapnya sambil tersenyum manis pada Laras.
"Sayang, kenalkan ini kakak iparku." Gema memperkenalkan Cinta pada istrinya yang masih terdiam canggung menatap wanita cantik tersebut.
Maksudnya? Kakak ipar? Bukankah kakak Gema cuma Kak Tahta? Berarti wanita ini... batin Nara yang masih berusaha memahami situasi.
"Gema! Man–tan! Jangan ngadi-ngadi deh kalo ngomong," ketusnya dengan menatap jengkel pada Gema. Kali ini Nara kembali dibuat terkejut mendengar pernyataan Cinta.
"Haii, pasti pacarnya Gema, ya? Kau sangat cantik," sambung Cinta menyapa Nara dengan ramah.
"I–iya, Kak. Saya Nara, istrinya Gema."
"Wah, istrinya? Aku pikir masih pacaran. Ya sudah kalau begitu silahkan di lanjut perjalanannya, saya juga sedang buru-buru. Permisi," pamitnya dan melenggang pergi meninggalkan pria yang hanya membeku di tempatnya tanpa bisa berkata apa-apa.
"Tahta? Ayo kita jalan." Laras menarik pelan lengan putranya yang masih terpaku menatap punggung cinta.
Senja kota Jakarta. Meskipun tak seindah dan secerah jingga di kota Bogor, tapi Cinta tetap bisa melihat dan menikmati keindahannya dari balik jendela rumah sakit. Seolah langit tengah memberikan penghiburan pada keadaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Pertemuannya dengan Tahta, menyaksikan kondisi pria yang pernah mengisi separuh ruang hatinya itu membuat Cinta benar-benar gelisah. Apa dia tengah sakit keras seperti Rudi dulu? Apakah dia akan mengambil anak-anaknya jika mengetahui kehadiran mereka? Atau apakah dia masih menaruh dendam dan kebencian padanya?
Bersambung....
______________________________
Tinggalkan jejak jika kalian mampir di novel ini👉
KAMU SEDANG MEMBACA
[NOT] A Perfect Marriage
RomanceCinta tergila-gila pada Tahta, tapi Tahta sama sekali tidak pernah memandangnya sebagai seorang wanita yang bisa dia cintai. Mereka mungkin sering terlihat bersama, tapi perasaannya keduanya jauh berbeda. Tahta sama sekali tidak menginginkan Cinta s...