Teman Lama

5.7K 243 8
                                    

Note : Alhamdulillah, vote udah nyampe 30, mari kita lanjuut.

Laras menepis tangan Zain dari wajahnya. Memalingkan muka dan melangkah mundur.

"Jadi, di mana kau menyembunyikan anak Reno?" tanya Zain sembari melonggarkan dasinya dan melempar jasnya ke sofa.

"Aku tidak menyembunyikannya. Dia yang memilih untuk pergi. Aku hanya membantunya keluar dari sini."

"Apa kau sudah memastikan mereka aman? Aku tidak mau kakek mengutukku di surga."

Laras tersenyum miring mendengar pernyataan suaminya. "Ternyata masih ada yang kau takuti, ya."

Laras melangkah maju. Menyentuh dada bidang suaminya dan mulai membantu melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya. Tangan Zain terulur menyentuh rambutnya yang tergerai sebahu. Tangan besar pria itu bermain-main di ujung rambut Laras. Sesaat, perasaan Laras menghangat. Matanya terasa pedih karena menahan tangis yang hampir tumpah.

Ingatan masa lampau masih melekat kuat di kepalanya. Dia menggunakan kekuasaan dan kekayaan ayahnya untuk mendapatkan Zain, karena rasa cintanya yang begitu dalam Laras tidak peduli apakah Zain mencintainya atau pun tidak. Tanpa dia tahu, pria itu juga seorang yang gila harta dan kekuasaan. Mereka menikah. Mereka mendapatkan keinginan masing-masing. Laras mendapatkan pria yang dia cintai, dan Zain mendapatkan kekayaan yang dia inginkan.

----------------
Pagi dengan embun tipis yang masih terlihat menutupi bukit di seberang area perkebunan sayur, membuat dua orang wanita yang tengah menikmati pemandangan tersenyum cerah. Mereka membuka kaca mobil sedan berwarna biru dengan tulisan taxi di bagian atas tersebut. Menghirup udara segar dengan rakusnya. Kedua wanita itu menatap nanar perkebunan di sana dengan binar bening matanya, seolah tengah bernostalgia.

Beberapa petani sayur dan buah-buahan di perkebunan menengok ke arah mereka saat taksi melintas di jalanan yang ramai dilalui pesepeda. Mulai dari anak-anak, hingga orang dewasa berlalu lalang dengan sepeda dan motor mereka. Di sekitar sana terlihat begitu menyenangkan, anak-anak bermain dan mandi di sungai kecil pinggir sawah dengan gembiranya, orang-orang bertegur sapa saat saling bertatapan muka. Momen seperti ini rasanya sudah sangat jarang mereka temui di tempat mereka tinggal sebelumnya.

"Kita sudah sampai di Jl.Cempaka, Neng. Di mana letak rumahnya?" tanya sopir taksi membuat kedua kakak beradik itu tersadar akan tujuan mereka. Ya, mereka sekarang tengah berada di Bogor. Kota kelahiran ibunya.

"Lurus saja kira-kira seratus meter, Pak. Nanti kanan jalan ada gerbang warna putih, rumah nomor satu dari sini," jelas Cinta sembari melihat sekitarnya.

"Yang ini, Teh?" tanya sopir taksi itu sedikit terkejut sembari menghentikan mobilnya.

Semua orang menatap ke arah bangunan yang dikelilingi oleh ilalang dan tanaman merambat. Rumah yang terlihat sudah lama ditinggalkan dan tidak terawat sama sekali. Nana bahkan sampai mengernyitkan kening melihat kondisi rumah almarhum neneknya tersebut.

"Iya, Pak. Terima kasih, ya Pak," ucap Cinta sembari menyerahkan sejumlah uang pada sopir taksi dan bergegas turun dari mobilnya.

Sopir taksi hanya bisa berdecak heran, dan pergi meninggalkan kedua gadis yang masih berdiri mematung di depan pagar berbahan kayu dan hanya sebatas bahu. Tanaman merambat juga memenuhi pagar rumah sederhana tersebut. Cat rumah pun sudah sangat kusam dan berjamur.

"Yakin mau tinggal di sini, Kak?" tanya Nana menatap ngeri ke arah rumah yang menghadap utara itu.

Matanya berkeliling menyapu area sekitar rumah. Hanya terlihat kebun kosong yang ditumbuhi tanaman liar dan perkebunan sayur di depan rumah. Jarak antar rumah di lingkungan itu masih saling berjauhan.

[NOT] A Perfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang