Senin pagi, seharusnya menjadi hari pertama masuk kerja dalam minggu ini setelah libur dua hari. Namun, Tahta justru terlihat baru pulang dari suatu tempat dengan keadaan yang kusut dan berantakan. Wajahnya murung, matanya sayu, dan rambutnya acak-acakan seolah baru saja berkelahi dengan segerombol ibu-ibu.
Sembari menundukkan kepala dalam-dalam, pria itu berjalan lunglai melewati ruang demi ruang apartemennya. Namun, dia menghentikan langkah kakinya yang lesu saat netranya menangkap sosok wanita berdiri di hadapannya sembari menatap aneh kepadanya. Mata mereka saling beradu.
Cinta tertegun melihat kondisi suaminya tersebut. Ini hampir mirip dengan keadaannya saat mabuk kemarin, tapi lebih parah. Dia menyipitkan mata saat mendapati tatapan aneh dari Tahta. Tatapan sendu yang seolah penuh akan penyesalan dan perasaan bersalah.
"Kau sudah pu–" Tahta tiba-tiba menabrak tubuh Cinta, memeluknya dengan erat hingga membuat bahu wanita yang tengah mengenakan seragam itu sedikit melonjak kaget.
"Ada apa?" tanya Cinta yang merasakan kepiluan dari pelukan tersebut. Dia masih berdiri mematung di tempat tanpa berani membalas pelukan pria tersebut.
"Maafkan aku," ujar Tahta sembari mempererat pelukannya di pinggang Cinta dan menyandarkan kepala di bahu wanita tersebut.
"Tat–Tahta ...." Cinta bergerak, berusaha melepaskan diri dari dekapan Tahta yang terasa aneh baginya. Jika itu dulu, mungkin sekarang dia sudah kegirangan dan bisa gila dibuatnya, tapi sekarang berbeda. Ada janji yang harus dia jaga.
"Apa kau membenciku dan menganggapku tidak sopan?" tanya Tahta dengan nada yang mengandung kekecewaan di dalamnya.
Cinta mengepalkan kedua tangannya saat jantung wanita itu kembali berdegup tidak beraturan. Aaah. Aku bisa gila lama-lama meladeni Tahta. Apa yang sebenarnya dia mau!
"Tidak. Bukan seperti itu."
"Lalu kenapa ... kau terus menghindar dariku?" Tahta melepas pelukannya dan menatap lekat manik mata Cinta. Mereka hampir tidak berjarak, bahkan Cinta masih bisa merasakan embusan napas suaminya dan kehangatan tubuh pria berotot tersebut. Tahta memegang kedua bahu Cinta dan mengarahkannya untuk membalas tatapan matanya.
Bu–bukankah ini terlalu dekat? Aku sangat yakin dan ingat dia begitu membenci bersentuhan fisik denganku. Ini ... sangat aneh, batin Cinta yang masih memalingkan muka berusaha menghindar dari kontak mata. Dia tidak ingin kembali terjatuh dan tenggelam ke dalam tatapan yang memabukkan tersebut.
"Itu ... aku hanya berpikir kamu akan benci dengan ini, tidak akan nyaman."
Tatapan Tahta menajam. Ada desiran rasa sakit di hatinya saat Cinta mengucapkan kalimatnya. Sepertinya segala ucapan dan perlakuannya dulu, kini menjadi senjata yang berbalik menikamnya setiap kali wanita di hadapannya itu mengulangnya.
"Aku tidak merasa tidak nyaman samasekali, tapi ... kenyataan bahwa kau menghindariku lah yang membuatku merasa tidak nyaman," jelas Tahta dengan nada yang begitu serius seolah berusaha meyakinkan istrinya.
"Pergilah, kau akan terlambat." Tahta melepaskan tangannya dari Cinta dan berbalik pergi meninggalkan wanita yang masih penuh tanya tersebut.
Cinta masih mematung di tempat, mantap punggung pria yang semakin menjauh darinya tersebut dengan tatapan aneh. Ini kali pertama dia melihat Tahta yang begitu putus asa dan terlihat frustrasi. Pria tersebut biasanya akan selalu terlihat tenang dan berwibawa meskipun sedang menanggung beban berat. Namun sekarang, dunianya seolah sedang benar-benar kacau.
Ini aneh. Apakah dia benar-benar sudah sadar dari mabuknya, atau ada sesuatu? pikir Cinta sembari berbalik pergi meninggalkan apartemen suaminya.
----------------
Tahta yang baru saja membersihkan diri, merebahkan tubuh kekarnya di ranjang. Bulir-bulir air jernih masih menetes dari rambutnya yang hitam kecoklatan, dan tubuhnya yang hanya terbungkus piyama mandi juga masih terlihat lembab berair. Tahta menutup mata dengan lengan berototnya. Rahang bawah Tahta mengetat saat mencoba mengingat kejadian aneh yang baru saja dialaminya semalam.Pria beristri itu membuat janji dengan kekasihnya untuk bertemu di villa keluarga Bella. Saat matahari sudah mulai menyingsing ke peraduannya, dia pun segera berangkat untuk memenuhi janji dan melaksanakan niatnya yang sebelumnya sudah tersusun. Namun, tanpa diketahui olehnya. Kekasihnya tersebut tengah mengadakan sebuah pesta perayaan hari jadi mereka yang ke dua tahun. Ada beberapa teman kuliah yang mereka berdua kenali dengan baik turut hadir di sana, termasuk Bimo.
"Sayang, aku ingin memberikan kejutan untukmu," ucap Bella dengan nada manja.
Bella bergelayut manja di lengan Tahta, membuat pria itu enggan untuk mengatakan keputusan yang sudah direncanakannya dari kemarin. Dia berpikir untuk memberitahu kekasihnya setelah acara tersebut selesai.
Mereka menikmati acara dengan lancar bahkan terasa sangat seru. Lebih dari sepuluh orang berpesta di villa mewah tersebut.
"Minumlah ini, kau harus rileks. Ini hari kalian," ucap Ciko pada Tahta sembari menyodorkan segelas wine padanya. Bimo tidak sedetikpun mengalihkan tatapannya dari Tahta semenjak pria itu masuk ke dalam villa. Ada senyum miring tercetak di sudut bibirnya.
Tahta awalnya menolak untuk meminum minuman yang pernah mengantarkannya pada kenikmatan malam yang memabukkan. Namun, beberapa temannya ikut memaksa untuk meminum barang haram tersebut. Akhirnya dia terpaksa meminum dan menghabiskan segelas wine tersebut hingga tak tersisa. Setelah itu kesadarannya mulai hilang. Tahta tidak mengingat apapun yang terjadi selain Bella yang mendekatinya saat barang haram tersebut mengambil akal sehatnya.
Tahta baru tersadar setelah pagi menyapa dan sinar matahari menyergap ruangan dengan jendela kaca besar disekelilingnya. Dia bergegas mendudukkan diri, merasakan pening di kepalanya. Tahta meraba tubuhnya, ada hal janggal yang dia rasakan. Seketika kesadarannya kembali sepenuhnya. Tahta bertelanjang dada dan tengah berbaring di sebuah kamar mewah. Desain rumah ini mirip dengan villa Bella. Mata Tahta membeliak saat menangkap sosok yang sangat dikenalinya terbaring di sampingnya.
"Bella?" Tahta menatap kaget ke arah wanita yang juga bertelanjang dada dan hanya berbalut selimut di bagian dada ke bawah.
Tahta menyibakkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, dan ... ya, pria itu bak disambar petir di siang bolong. Dia telanjang. Lalu apa yang terjadi semalam? Apa dia sudah mengulangi kesalahan yang sama, tapi kenapa dia tidak mengingat apapun dan sekecil apapun? pikir Tahta sembari menjambak rambut pendeknya berusaha mengingat perbuatannya.
"Kau sudah bangun, Sayang?" Bella menatap mesra Tahta yang terlihat syok.
"Apa yang sudah terjadi?"
"Apa? Tentu saja sesuatu yang harus terjadi, Sayang. Kau sangat mabuk semalam jadi pasti ingatanku kabur," ujar Bella sembari memainkan tangannya di perut berotot Tahta.
Tahta menepis tangan Bella dari tubuhnya. Dada bidang pria tersebut terlihat naik turun dengan lebih cepat dari biasanya. Emosi seolah hampir meledak di ujung kepala Tahta. Ini adalah perasaan yang sangat berbeda dengan malam itu, malam bersama Cinta. Mata Tahta menggelap seolah siap mencabik siapapun yang ada di hadapannya.
"Haah!" Tahta meninju kasar kasur berseprei putih tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Bella bahkan sampai melonjak ketakutan dibuatnya. Wanita tersebut sedikit menjauh dan tak berani lagi membuka mulutnya.
Bersambung ....
****************
Haloo, Kesayangan. Please berikan Simi jempol dan komentar kalian, yaa agar popularitas novel ini bisa naik. Simi sangat-sangat berterima kasih untuk kakak-kakak yang sudah dengan senang hati selalu hadir di setiap kolom komentar novel Simi. Kalian luar biasaaa. Lope lope sekebon buat kalian, Dear. See you next episode.
Kira-kira Cinta bakal cepet tau nggak, yaa?
KAMU SEDANG MEMBACA
[NOT] A Perfect Marriage
RomanceCinta tergila-gila pada Tahta, tapi Tahta sama sekali tidak pernah memandangnya sebagai seorang wanita yang bisa dia cintai. Mereka mungkin sering terlihat bersama, tapi perasaannya keduanya jauh berbeda. Tahta sama sekali tidak menginginkan Cinta s...