37 [pisah?]

24.3K 2.5K 375
                                    

Pintu berwarna coklat itu di buka, Bagas langsung menemukan Ali berdiri dengan wajah lusuh, hidung laki-laki itu di perban dan kedua matanya sembab seperti habis menangis.

Bagas mengernyit.

Tanpa berkata apapun, Ali langsung mendorong bahu Bagas agar menyingkir dan ia melewatinya begitu saja, masuk ke dalam rumah sahabatnya itu dengan langkah berat.

"Assalamualaikum bos! Widiih yang punya rumah lo?" Sindir Bagas kesal, ia menutup pintu rumahnya. Lalu, mengejar Ali yang sudah masuk lebih dulu.

"Kenapa lo njir? Mabok obat kuat?" Tanya Bagas bercanda.

Tapi kali ini candaannya sama sekali tidak membuat Ali tertawa, laki-laki itu menarik napas berkali-kali, mencoba membuat genangan di matanya hilang.

Beberapa hari lalu saat jari Ily terjepit dan merengek kesakitan, Ali memintanya untuk tidak menangis dan perempuan itu menahan tangisnya mati-matian walaupun akhirnya menangis juga. Ily bilang rasanya terlalu sakit dan air matanya keluar sendiri tanpa bisa ia tahan.

Dan sekarang Ali mengerti, kenapa Ily begitu suka menangis, kenapa ia bilang air matanya nakal suka keluar tanpa izin.

Ali mengerti.

Satu air matanya jatuh.

Bagas langsung menarik kursi dan menyuruh laki-laki itu untuk duduk, tapi Ali menggeleng pelan.

Dia mengingat semua orang sedang membencinya, membenci sesuatu yang sama sekali belum Ali pahami, lalu sesak karena ia juga belum mengetuhi keadaan Ily, rasa itu membentuk gumpalan perih yang menyakiti hatinya.

Tetes kedua menyusul.

Laki-laki itu menunduk dan kemudian mulai terisak di hadapan Bagas. "Ily, Gas.."

Kemudian tetes-tetes selanjutnya terus menyusul di iringi isakan pedihnya. "Dia masuk rumah sakit, dia- pendarahan."

Bagas menatap dengan wajah terkejut. "Hamil? Sejak kapan?"

Ali mengangguk, bahunya sampai berguncang karena isakannya. "Gue nggak tau dia hamil, gue juga nggak tau salah gue di bagian mana? Gue nggak tau!"

"Gue nggak tau Gas.."

"Oke, mungkin karena gue udah bikin dia hamil sebelum lulus sekolah, gue melanggar janji. Oke! Mereka berhak marahin gue atas hal itu, tapi Gas-"

"Mereka nggak berhak benci sama gue sampai segininya, mereka nggak ngasih tau sama sekali keadaan Ily sama gue, mereka bawa Ily tanpa kasih tau gue, nggak ada satu orangpun yang bisa gue tanyain. Gue bingung Gas! Gue khawatir sama Ily!"

"Gue juga sayang sama Ily, bukan cuma mereka Gas!"

"Gue harus tanya kesiapa tentang keadaan Ily? Gue nggak tau.."

"Lo tenang, jernihin dulu pikiran lo," ujar Bagas dengan tangan menepuk bahunya, Ali mengangguk kaku, walau ia tahu ucapan Bagas sama sekali tidak membantu. Lalu setelahnya Ali di buat terkejut ketika handphonenya berbunyi, ada satu notifikasi pesan.

Ali langsung mengambil handphone dari sakunya, melihat apakah Mama atau Bunda membalas pesannya. Laki-laki itu bergeming.

"Gimana, ada kabar?" Tanya Bagas.

Ali menggeleng.

Kedua tangan laki-laki itu meremas rambutnya, matanya panas dan ia tidak tahu harus bagaimana lagi, harus menyalahkan siapa, harus pergi kemana. Ia mengusap wajahnya, merasakan emosinya yang meledak sampai ke ubun-ubun. Tangan kanannya yang memegang benda pipih itu mengepal.

Suara bantingan itu memecahkan keheningan.

"ARGHH! GUE HARUS GIMANA LAGI?!"

"GUE HARUS TANYA SIAPA?!"

OM Tetangga [PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang