Lembar Kelima belas

115 36 26
                                    

Aku baru mengetahui fakta siang ini.

Nama Abimanyu memiliki arti kesembuhan.

Dan sejak hari itu, hadirnya selalu menutupi luka lukaku perlahan. Berangsur-angsur membaik ditemani kalimat kalimat penenang dari Bima.

"Kay!"

Lamunanku buyar. Menoleh untuk melihat sosok Bima yang tengah pamer berseluncur dengan 'healing'-nya.

Jadwalnya, hari ini Bima ingin mengajakku main dengan papan luncur kesayangannya. Demi pelepas penatnya dan penatku.

Sebagai janji, katanya, dia mau mengajariku naik papan luncur.

"Menyeramkan!"

Aku mencengkram erat tangan Bima yang menggenggamku. Sementara kakiku menapak papan luncur yang bergerak perlahan dituntun si empunya.

"Hahahaha, tenang, Kay, tenang. Rasain anginnya, jangan takutnya. Gue di sini, ga kemana kemana."

"Ngeri!"

"Enggak, eh lho jatuh—eits bercanda." Bima sengaja menggoyangkan tangannya agar keseimbanganku goyah. Serius, itu menakutkan.

Aku memekik setiap akan jatuh, sampai pada titik aku kehilangan keseimbangan total dan berakhir jatuh dari papan.

Meski begitu, tangan yang tadinya menggenggam dengan sigap menangkap tubuhku, padahal tau kalau kakiku masih kuat menahan tanah.

"Ha!" serunya, "Gue bilang juga apa? Lo tenang aja, ada gue. Kalo jatuh pasti gue tangkep!"

Aku mendecak, menoyor kepalanya dengan gemas, "Tangkap bibir bibirmu."

Bima tertawa, menarikku untuk kembali menaiki papan luncur. Tapi kali ini, aku tidak sendirian. Pemuda itu ikut naik dan menjaga keseimbangan papan. Bahkan bergerak perlahan namun terasa lebih aman.

"Kadang ya, Kay. Lo cuma perlu percaya diri, bukan dalam artian meninggi atau gimana. Cuma, percaya aja sama diri lo. Lo tuh bisa, lo tuh hebat, lo tuh keren. Tapi ga bakal kelihatan kalo lo nggak kasih kesempatan buat diri nunjukin kebolehannya."

Bima mengatakannya dengan tenang, tanpa menatap mataku, namun jemari kami bertaut lembut. Begitupun angin sepoi sepoi yang menyetujui tiap jalan yang kami lewati dengan sang papan luncur.

"Bim, makasih," bisikku.

Bima terkekeh, "Sama sama, sayang."

"Jangan gitu, malu..."

"Kita udah bareng lama lho. Masa masih malu? Perlu gue bilang sayang setiap hari kalo gini mah, dilatih."

"Nggak, kasihan jantungku."

"Hahahahah, Kayleen Kayleen." Bima berhenti, mengunci tatapan kami dengan senyum, "Lo tuh perempuan pertama selain Mama yang bikin gue kepengen banget ngejagain lo. Jadi jangan ngerasa sendirian, ya?"

"... Abimanyu."

"Apa, sayang?"

"Kamu nggak cocok jadi sentimen."

"KAY SUASANANYA LAGI MENDUKUNG NIH."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang