Lembar Kesembilan

129 41 31
                                    

Pengakuan perasaan kemarin masih membuatku melambung hingga detik ini. Sampai sampai aku tidak punya nyali berhadapan dengan Abimanyu Giandra, pemuda sinting yang tampan.

Bahkan, setiap aku membuka buku rumus, yang masuk ke otak malah gerutuannya setiap melihatku duduk di perpustakaan.

Aku bisa gila!

"Kay!"

Aku terlonjak, bersamaan dengan sebatang pensil mekanik jatuh dari tanganku dan membentur lantai.

Baru hendak menoleh untuk protes kepada Sasa, seseorang malah menghalangi arah pandangku. Dia berjongkok, mengambilkan pensilku dan meletakkannya di atas meja sambil berlutut.

Bima.

"Hai," sapanya. Kepalanya muncul dari sisi meja, melongok gemas sampai aku ingin mencubit kedua pipinya, terutama yang berlesung.

"Lo ngehindarin gue mulu," rengutnya, "Nggak nyaman ya gara gara kemarin?"

Jujur, aku kehilangan kata. Hanya bisa menjawab dengan gelengan kecil, sementara pandangan kami terkunci.

"Sori, ya?"

"Ng-ngapain minta maaf? Kamu nggak salah kok, aku kaget aja..."

"Tapi lo jadi ga mau ketemu gue."

Aku menggigit bibir, serius menahan gemas dan malu, "Nggak... Nggak gitu kok..."

"... Kalo gitu, mau... istirahat bareng lagi nggak? Gue ada batagor."

Ujung bibirku terangkat tanpa sadar, merasa geli membalas, "Bu Saimin?"

"Hahaha, yang ini Pak To, gerobak depan."

Abimanyu, Abimanyu... Lucu. Kamu lucu. Rasanya aku juga mau meledak setiap lihat kamu senyum, tau?

"Bima."

"Hng?"

"Makasih batagornya."

"Hahaha iya."

"Aku juga suka..."

"Suka batagor?"

"Suka kamu."

"..."

"..."

"... Suka gue apa suka makanan gue?"

"... Ya udah gak jadi. Aku suka Bu Saimin sama Pak To aja."

"LOH JANGAN!"

"LOH JANGAN!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang