Lembar Keenam

155 46 24
                                    

Abimanyu.

Sasa bilang, lengkapnya Abimanyu Giandra. Singkatnya, sering disebut Abim. Aneh.

Abim rupanya anak jurusan sebelah. Rata rata hobinya mengikuti ujian ulang atau main papan luncur di parkiran sekolah. Bukan tipe penguasa kantin atau satpam sekolah yang suka memutari gedung.

Sejak hari itu, aku jadi sering melihat Abimanyu dimana-mana. Kantin sekolah, lorong, lapangan, halaman depan sekolah. Sampai saat ini, kami bertemu di perpustakaan.

"Hai, pintar!" panggilnya menyapa, duduk di seberangku tanpa ijin. Padahal jelas jelas aku sedang membaca novel, bukan buku pelajaran.

"Apa?" balasku.

Abim menggeleng, tersenyum kecil menatapku, "Gini dong! Kan bagus lo kasih istirahat ke otak, kasian mikir pelajaran mulu. Nggak meleduk itu kepala dikasih rumus doang?"

"Mulutmu aku jahit ya lama lama," desisku.

Anehnya lagi, Abim malah tertawa. Sampai seseorang menegurnya di ujung rak karena terlalu keras.

"Aneh," gumamku.

"Siapa??"

"Kamu."

Abim mengangkat alis, "Aneh sebelah mana?"

"Nama, kelakuan, tawa." Aku mendongak, menatap netra Abim yang penasaran. "Abim. Kenapa Abim?"

"Oh... Kenapa ya... Kayaknya gara gara dulu gue pertama kali ngomong cuma bisa ucap Bim Abim Abim gitu."

"... Oh."

"Emang yang nggak aneh menurut lo apa? Gian?"

"... Bima. Soalnya mukamu tengil."

"Heh enak aja!" gerutu Abim sebal, kemudian dia mendengus, "Oke! Khusus lo panggil Bima gapapa. Panggil sayang juga boleh."

Abimanyu. Pemuda pertama yang mendapat pukulan buku novel Hujan karya Tere Liye di kepalanya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang