Lembar Kedelapan belas

116 40 24
                                    

"Eh, udah dateng. Ini Abimanyu?"

Untuk pertama kali dalam hidup, aku akan mengenalkan seorang kekasih di depan ibuku.

Ini karena ibu curiga aku selalu sibuk di luar rumah dan pulang dengan senyum lebar. Bahkan tidak sengaja mendengar aku menelepon Bima di teras rumah.

Jadilah siang ini, Bima diundang oleh ibu untuk makan siang bersama di rumah. Aku ulangi, di rumah.

Seorang Abimanyu berdiri di depan pintu rumahku dengan motor hitam mengkilapnya. Bahkan kemeja dan parfumnya sangat tidak biasa. Rapi dan wangi!

Aku harap harap cemas ketika Bima tersenyum ramah pada ibu. Bukannya apa, aku takut ibu akan seperti orang lain yang menganggap Bima dan aku tidak cocok.

"Ganteng ya," celetuk ibu.

Bima terkekeh, "Tante bisa aja. Ternyata Kayleen cantik turunan ibunya banget."

"Hahaha. Sini masuk, ayo, nggak usah sungkan."

Berhubung aku adalah anak tunggal, Bima banyak menghabiskan waktu dengan ibu sementara aku kesana kemari untuk menyiapkan banyak hal.

Tidak apa apa. Toh, rencana awal memang ibu yang ingin mengenal Bima lebih dalam.

Selagi aku kesana kemari menyiapkan sajian berikutnya, Bima dan ibu memilih duduk di ruang tamu. Membicarakan foto masa kecilku sampai pigura pigura yang dipajang di dinding.

Ibu, tolong jangan ceritakan hal memalukan masa kecilku pada Bima, ya?

"Hahaha. Itu, ayahnya Kay belum pulang, ya, tante? Mau sekalian kasih salam."

"... Ayahnya Kayleen udah nggak ada, nak. Jadi ibu minta tolong, kalo kamu nggak bisa jagain Kayleen, paling tidak jangan disakiti ya? Hati dan fisik, tolong jangan."

Hatiku mencelos ketika mendengar suara ibu sayup sayup. Sedikit tidak menyangka kalau ibu akan membicarakan soal ayah di depan Bima.

Bukannya menghampiri mereka di ruang tamu, aku malah berbelok ke kamar mandi. Berdiam diri di sana untuk menetralkan panas mataku.

Aku tidak bisa mendengar jawaban Bima dari sini. Tapi aku yakin, Bima bukan tipe orang yang mudah menyakiti hati orang lain.

Setelah yakin sudah menguasai diri, aku kembali bergabung dengan mereka. Duduk di sebelah Bima sembari mencicip teh buatanku sendiri.

Baru meneguk sedikit, ibu malah beranjak, "Ibu tinggal sebentar, ya. Jangan macam macam, lho, hahahah."

"Haha, siap, tante!"

Selepas kepergian ibu, Abimanyu menoleh menatapku. Diam tanpa suara, tapi tangannya mengusap lututku pelan.

"Apa...?" tanyaku sangsi.

"Lo ga pernah bilang soal bapak lo..."

Aku mendengus, "Aku kira itu nggak penting, kenapa gitu natapnya?"

"Sini." Bima menarikku ke dalam pelukan. Hangat. Kemudian berbisik, "Lo sekuat ini. Gue bangga, Kay, lo masih bertahan."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang