"Lagi sakit kok main laptop?!"
Aku tersentak mendengar suara Bima di ambang pintu. Agak terkejut, pasalnya, ini masih siang.
"Kok nggak kuliah?" tanyaku heran.
Bukannya menjawab, Bima malah meraih laptop di pangkuanku dan meletakkannya jauh jauh, seakan itu benda berbahaya. Kemudian tangannya dengan sigap menempel pada leher dan dahiku untuk mengecek suhu tubuh.
Sudah seperti dokter saja.
"Bim?" ulangku karena belum mendapat jawaban, apalagi tangannya malah menangkup wajahku dan digoyangkan sana sini, semakin membuat risih.
Bima mendengus, melepaskan tangannya sambil menjawab, "Udah pulang. Ini Jumat, nggak banyak matkul. Lo kenapa bisa sakit?"
"Nggak sakit, ih. Cuma dilep, lagi dapet."
"Dapet apa?"
"Bulan."
Bima manggut manggut, agak canggung tapi masih berusaha menanggapinya dengan normal. "Udah aman? Butuh apa gitu nggak?"
Aku menggeleng, "Udah. Semua aman. Cuma sakit aja."
"Perlu gue beliin kiranti?"
"Nggak usah, tadi baru minum teh anget. Mama yang buat."
"Ohh," Bima kembali menganggukkan kepala. Kemudian tangannya memegang perutnya sendiri dengan ragu, "Masih... sakit?"
"Sedikit, Bima, tenang..."
Lucu. Aku tidak pernah melihat Bima sekhawatir ini. Padahal aku hanya mengabari kalau tidak masuk kuliah karena sakit, jadi jangan menjemputku.
Tapi Abimanyu malah datang kesini dengan cepat, bahkan masih memakai jaket yang menemaninya selama berkendara. Helm hitamnya juga baru dilepas di pintu kamarku—kini bertengger manis di dekat lemari. Abimanyu si paling siap sedia.
Tidak lama setelah aku meyakinkan Bima, suara penjual es krim keliling terdengar dari luar. Lantas, pemuda itu segera berdiri. Ingin membeli es krim, dan aku disuruh tunggu di sini, jangan kemana kemana katanya.
Memang aku mau kemana lagi? Ini kan kamarku.
Dipikir pikir, orang awam mungkin melihat kami seperti pasangan biasa, tidak selengket yang lain—genggaman tangan, perlakuan manis, dan lainnya. Tapi di saat kami punya waktu, kami selalu berusaha bersama. Cukup dengan kehadiran masing masing, apalagi saat dibutuhkan. Poin tambahan untuk Bima dan seribu satu kata penenangnya.
"Es krim vanilla kesukaan tuan puteri!" serunya memasuki kamar, lagi lagi mengagetkan aku yang berusaha mengambil laptop di ujung meja.
Melihat aku hendak kembali memegang si benda keramat, Bima buru buru mendekat, menghardik, "Eits!"
"Bim!"
"Lo lagi sakit, jangan main laptop, ah. Ini es krim, nih. Habis itu tidur aja."
"Tapi ada tugaaaas," rengekku.
"Tugas apa sih? Deadline kapan? Lagi sakit juga, ga pengertian banget dosen lo," omel Bima.
"Tugas akutansi, banyaaak. Dari kemarin sih, udah dicicil. Deadline hari ini tapi aku belum selesai."
Bima mendengus, meletakkan es krim kapnya di atas nakas, kemudian mengambil laptopku.
"Geser," katanya.
Aku menurut, memberi tempat agar Bima bisa duduk di sebelahku, sama sama bersandar pada kepala ranjang. Bahkan, aku sudah menyiapkan pangkuanku untuk laptop kesayanganku dan tugas yang menanti.
Tapi Abimanyu malah meletakkan es krimnya di atas pangkuanku, sementara netranya menelusuri hasil kerjaku di laptop.
"Bim—"
"Gue aja yang kerja. Bayarannya lo suapin es krim."
Aku mengangkat alis tidak yakin, "Serius? Anak Ilkom bisa Akutansi?"
"Loh, lupa?!" Bima histeris berlebihan, "Kan dulu gue anak IPS, Kay. Bisa bisa. Kalo ga bisa tinggal lo arahin aja, pokoknya gue yang pegang, lo ga boleh."
Abimanyu, Abimanyu. Keras kepala, tidak seperti namanya yang lembut.
Kami menghabiskan siang cukup damai setelah itu. Bima dan laptopku, sementara aku menghabiskan es krim sambil bersandar padanya.
Dia cukup pintar di bidang ini, aku akui.
Saking pintarnya, aku hampir tidak mengarahkan apa apa. Hanya memerhatikan, kemudian mengantuk.
Sepertinya aku tertidur. Terbukti ketika aku membuka mata, Bima sudah selesai mengerjakan tugasku dan sedang sibuk menonton film di laptopku.
"Ah, maaf." Aku bangun, merasa bersalah karena tidur di bahunya mungkin dalam waktu yang lama.
Bima tersenyum, menghentikan sejenak filmnya dan mengusap rambutku, "Selamat pagi, sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Rasa dari Karsa [✔]
Fanfiction[ғᴛ. ᴄʜᴏɪ ʙᴇᴏᴍɢʏᴜ] Tuhan selalu mengirimkan malaikat penolong untukku, kemudian di saat aku sembuh, Dia mengambilnya kembali. Apa begini cara hidup bekerja? sebuah catatan karsa, 2022.