Lembar Kedua puluh dua

110 37 22
                                    

Hari jadi kedua tahun.

Kami sudah selama itu ya?

Intinya, hari ini, Bima mengajakku menghabiskan akhir pekan dengan piknik dan melukis. Kami benar benar hobi piknik, rupanya.

"Setiap tiga menit, kita tukeran kanvas. Deal?"

Aku menggeleng tidak setuju, "Lima menit."

"Oke deal, lima menit. Mulai ya!"

Belum pernah ya aku cerita tentang betapa artistik seorang Abimanyu? Bila aku berusaha mengunggulkan diri pada bidang akademik, maka kekasihku unggul dalam bidang kesenian. Bahkan, semua papan luncurnya sering dihias sedemikian rupa.

Meski begitu, papan luncur kesayangannya tetap si biru manis dengan tulisan inisial nama kami di sana.

Melihat betapa fokus Abimanyu, aku jadi merasa bersyukur. Lantas tanpa sadar aku membuka percakapan, "Kamu tau?"

"Apa?"

"Kamu banyak nyembuhin luka lukaku, tau."

"Lo luka?" Bima terlihat panik, seketika menghadapku dengan khawatir.

"Bukan," selaku, tertawa kecil, "Bukan fisik. Tapi yang di sini, Bim." Aku menunjuk dada kiriku, tempat jantung berdetak di setiap momen suka dukanya.

"Lo... nggak apa apa?"

Aku mengangguk, kembali melanjutkan lukisanku. "Aku jauh lebih baik sejak ketemu kamu, dua tahun lalu."

"... Kita jarang deeptalk, maaf kalo gue cuma bisa jadi pendengar, Kay. Gue nggak tahu caranya nenangin orang pake kata kata."

"Bima, justru semua kata kata kamu itu penyembuh buat aku," koreksiku. "Semua, aku inget jelas semuanya."

"... Syukurlah kalo gue membantu. Gue kira selama ini gue jadi pacar yang nggak berguna, haha, maaf."

"Abimanyu, aku yang minta maaf karena mungkin jadi orang yang nggak berguna buat kamu." Aku menukar lukisan kami, sudah lima menit. Ditutup dengan coretan iseng kuasku di pipinya.

Bima terkekeh, ikut mencoret pipiku dengan kuasnya, kemudian bertanya, "Lo udah lama?"

"Apanya?"

"Terluka. Udah lama?"

"... Lumayan. Dulu Ayah yang jadi penyembuh lukaku. Waktu jatuh dari sepeda, waktu pertama kali lomba baca puisi, waktu kehilangan kepercayaan diri. Ayah dokternya."

"Semenjak Ayah pergi, sekitar aku lulus SMP, rasanya kayak bikin luka di atas luka, Bim. Sakit."

"... Gue bangga sama lo, Kay, makasih udah mau bertahan." Bima mengusap rambutku.

Katakan, bagian mananya yang tidak romantis? Abimanyu, kamu sangat membantu.

"Itu kata kata Ayah waktu aku gagal juara lomba dulu, hahaha."

"Oh ya?"

Aku mengangguk. Sudah selesai dengan lukisan yang daritadi kami tukar, beralih mengamati paras samping Bima dalam diam.

Kadang, aku takut. Takut kalau Tuhan akan memisahkan aku dari Abimanyu.

"... Jangan tinggalin aku kayak Ayah, ya?" bisikku dengan suara tercekat.

Bima berhenti melukis. Meletakkan kanvas di dekatnya, kemudian beringsut mendekat. Bibirnya mengulas senyum menenangkan sementara jemarinya mengusap pipiku.

Oh, ralat. Menghapus air mata yang entah sejak kapan mengalir di sana.

Pandangan kami terkunci, sementara lambat laun, jarak kami semakin menipis. Seiring terkikisnya jarak, aku dapat merasakan sesuatu menempel di bibirku. Lembut, dan menenangkan.

Ciuman pertamaku.

"Aku nggak akan bisa ninggalin kamu. Jangan nangis."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang