Lembar Ketiga belas

114 37 34
                                    

"Bima."

"Apa, sayang?"

"Heh."

Alisku reflek menukik tajam, memandang pemuda yang sedang asik tiduran di atas papan luncur.

Sore sepulang sekolah, aku dan Bima memilih diam sejenak di taman kota. Tidak terik, malah hangat.

Pemuda itu sudah puas berselancar sana sini, jadi dia hanya tiduran untuk mengisi energi sekarang. Sedang aku, sudah lelah berpikir, ingin mengobrol.

"Iya iya, kenapa, Kay?" Bima menoleh, menatapku dari bawah.

"Nggak... Ga penting banget sih."

"Terus kenapa?"

"Aku cuma... agak khawatir?"

Bima mengubah posisinya menjadi duduk di sebelahku, menganggap perkataanku serius, "Tentang?"

"Bukan hal baru... Aku cuma selalu khawatir setiap ujian tiba, nggak apa apa, haha."

Aku tertawa canggung sementara Bima tidak kunjung menyahut. Malah, tangannya menangkup tanganku, kemudian mengusapnya pelan.

"Nggak apa apa. Khawatir itu wajar. Yang ga wajar kalau khawatir ngambil alih isi otak lo sampai elo jadi takut berlebihan."

"... Kamu pernah khawatir?"

Bima terkekeh, "Sering itu mah!"

"Tentang?"

"Tentang besok gue mau jajan apa, besok Bu Saimin jualan engga, ya? Atau gue juga pernah khawatir soal Mama yang mau ambil rapot dan lihat nilai jelek gue. Gue juga sering khawatir kalau kehilangan skateboard. Tapi yang paling gue khawatirkan, bakal ada saatnya gue ga lagi bisa menikmati skateboard kayak sekarang. Banyak, Kay, yang gue khawatirin. Banyaaak banget sebenernya."

Aku tersenyum kecil. Abimanyu menjelaskan dengan lucu kekhawatirannya hingga hal itu tidak terlihat berat. Kemudian netranya jatuh pada papan luncur kesayangan, tersenyum tipis.

"Tapi lo tau, Kay? Skateboard itu udah kayak healing buat gue. Gue ga perlu khawatir selama gue bisa melangkah."

Aku menggenggam erat jemari Bima, balik mengusapnya. Mengamati betapa indah pahatan Sang Pencipta di parasnya, yang kemudian diperelok dengan pola pikirnya.

"Kalo elo? Punya healing?" Bima menoleh, masih dengan lengkung menenangkan yang sama.

Aku menggeleng, "Mungkin kamu."

"Hm?"

"Healingku kamu."

Sebagian balas dendam, sebagian ucapan tulus. Aku tertawa melihat betapa merah wajah Bima sekarang. Lucu.

"A—oh— eum, oke, gue, ya? Em... Oke... Kay—ini... gue bisa gila!"

Pemuda itu menutup wajahnya, menggerutu gemas sementara aku menghabiskan tawaku.

Kemudian, di penghujung sore, Bima memutuskan hal konyol dengan spidol—entah kenapa dia punya spidol permanen—dan papan luncur.

"Karena gue healing lo, dan papan luncur adalah healing gue, kita harus kasih penghargaan ke dia. Karna secara ga langsung, dia pemegang takhta tertinggi per-healing-an versi kita."

Bima meraih tangan kananku untuk dituntun menulis di atas papan luncurnya—Si Penguasa Takhta katanya. Diawali dengan huruf depan namaku dan huruf depan namanya.

K. A.

"Kereta api," gumamku reflek, merasa geli dan lucu.

Bima mendengus, "Enak aja. Ini Kay sama Abim. Bukan kereta api, atuh!"

"Tapi kamu nulisnya kayak K A Indonesia, hahaha."

"Ya udah, aku kasih jalurnya dulu." Bima mencoret papan luncurnya dengan hati hati, menggambar sebuah jalur di bawah inisial nama kami. Kemudian di ujung jalan, dia menggambar pelangi dengan hiasan hati mengelilingi lengkung.

"Kenapa pelangi?" tanyaku.

"Tanda senyum. Karena ujung dari sebuah healing tuh bahagia, Kay."

"Kalau hatinya?"

"Nggak tau, cantik aja. Kayak elo."

"... ABIMANYU!"

 ABIMANYU!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang