Sampul Akhir

157 39 6
                                    

Kehidupan itu bukan kuasa manusia, tapi Yang Maha Kuasa. Menciptakan, memelihara, kemudian mencabut. Tugas manusia cuma menjalankan.

Lantas, aku merasa sangat bersalah ketika membuka mata, menemukan bahwa aku masih diperjuangkan untuk hidup. Tidak peduli seberapa banyak luka sudah menyayat hati dan menggores jiwa.

Benar. Kehidupan dan kematian memang bukan kehendakku. Tapi bagaimana aku harus hidup kalau semua penolong hidupku satu per satu pergi setelah aku sembuh?

Ayah, Abimanyu, besok siapa? Siapa lagi yang akan berkorban untuk kesembuhanku?

"Oh, sudah sadar."

Aku melirik, menemukan pemuda jangkung dengan senyum tipis tengah menyapa. Sepertinya masih sangat muda. Apa dia dokter? Jas putihnya familiar.

"Kita periksa denyutmu sebentar, ya, sambil menunggu Dokter ke sini."

Pemuda itu meraih pergelangan tangan kiriku, mencari denyut yang hampir aku relakan menyerah.

Sembari menghitung, beliau membuka suara, berbasa-basi. Katanya, "Bagaimana tidurmu? Istirahatnya cukup? Nyenyak?"

"... Aku hampir bunuh diri, bukan tidur." Aku memalingkan wajah, malu dengan kenyataan yang aku akui.

Pemuda itu terkekeh, menggeleng kecil, "Bukan, kamu cuma lelah. Aku tahu, kamu hanya ingin istirahat dari realita. Tidak masalah, selamat datang kembali ke dunia. Aku pamit, ya? Dokter akan segera datang setelah ini."

"Tunggu," selaku. Gatal bertanya, kenapa daritadi dia menyebut dokter seakan dia bukan bagian dari mereka?

"Ya?"

"Memang... anda bukan dokter?"

Pemuda itu terkejut sejenak, kemudian tersenyum sembari menggeleng pelan, "Haha, bukan. Aku Naren , calon dokter di sini, masih koas."

"Oh..."

"Salam kenal, Kayleen!"

end.

Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang