Setidaknya, sudah ada hampir sepuluh kali Bima terjatuh dari papan luncurnya. Aku mulai khawatir.
Sepanjang aku menemani Bima bermain, pemuda itu selalu belajar teknik baru. Dan dalam proses belajarnya, ada lima kali dia terjatuh sampai bisa.
Kemudian saat bisa melakukan teknik permainannya, Abimanyu akan mengulangnya sampai tujuh kali di depan mataku, dengan senyum lebar dan pandangan antusias yang tidak berubah sama sekali.
"Yordan," panggilku, mencegat seorang teman bermain Bima.
"Kenapa, Kay?"
"Bima... nggak apa apa??"
Yordan menengok, menemukan Bima yang kembali kehilangan keseimbangan sampai hampir terjatuh. Raut wajahnya mengernyit ngilu, seakan akan dia yang jatuh.
"Dan...?"
"Oh, oh iya. Dia nggak apa apa, kok, Kay. Emang begitu, setiap belajar teknik baru emang harus jatuh dulu, haha."
"Serius?"
Yordan mengangguk, "Kalem, Abim pro banget. Walau kelihatan kayak agak emosi... Emang kalian habis berantem?"
Aku menggeleng ragu. Kami jarang bertengkar, lantas mengapa Bima emosi? Apa aku berbuat salah?
"Mungkin gurunya kali, Kay. Nggak usah dipikirin. Bawain aja obat merahnya habis gini, yakin gue itu tangannya Abim bakal luka luka bentar lagi."
Sesuai saran, aku berakhir meninggalkan Bima sejenak untuk membeli obat merah yang habis. Sekalian membeli kopi kesukaannya.
Akhir akhir ini dia kecanduan kopi.
Saat kembali, aku mendekat untuk menyuruhnya berhenti sejenak. Tidak tahan selalu melihat kegagalan yang membuahkan luka fisik.
"Bim—"
Tak!
Manikku membelalak sempurna, seiring Bima menorehkan senyum lebar. Pemuda itu mendongak, seketika bertatapan denganku. Kemudian memekik senang.
"KAY, GUE BERHASIL! GUE BERHASIL, LO LIHAT KAN? HA! HAHAHAHAHA!"
Aku jarang melihatnya memekik girang sampai melompat seperti ini. Mau tidak mau ikut mengundang senyum bahagia, merasa bangga.
"Abimanyu!" seruku, "Keren! Aku bangga, bangga banget!"
"Iya, kan? Gue emang keren!"
Kami duduk di dekat papan luncurnya, masih dengan euforia yang awet, bahkan ketika pahit kopi menyentuh lidahnya.
"Tapi," aku bersuara, meraih tangannya untuk mengobati luka. "Harus banget ya jatuh berkali kali begitu?"
"Iya, dong!"
"Nggak sakit?"
Bima terkekeh, "Sakit, jelas. Tapi terbayar, kok, Kay."
"Ibaratnya, buat sukses harus gagal dulu. Setelah coba gagal, lo bakal belajar apa yang bikin lo gagal, dan lo coba terus. Siapa tuh ilmuwan yang gagal berapa kali sampai karyanya berguna? Einstein? Edison? Yang lampu tuh siapa sih, Kay?"
"Edison," jawabku, meneteskan obat merah di lukanya. "Kamu bener, semua harus gagal dulu sebelum sukses. Tapi aku nggak bisa lihat kamu jatuh luka luka terus begini, Bim."
"Kayleen," panggilnya geli, "Lo orang kedua setelah Mama yang protes ke gue soal luka luka main skateboard."
"Kenapa nggak kapok?"
"Gue suka skateboard, masa gue harus berhenti cuma gara gara gue jatuh dan luka? Sama kayak gue suka elo, masa gue harus berhenti cuma gara gara diomong ini itu sama orang asing?"
Aku terdiam. Memakukan pandangan dengan netra lembut Abimanyu. Mencari keseriusan yang sialnya selalu aku dapatkan.
"Gue cuma mau buktiin, kalau kita itu pantas, Kay. Walau gue tahu, lo seorang yang lebih dipandang baik daripada gue. Tapi gue tahu, kita pantas bersama, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Rasa dari Karsa [✔]
Fanfic[ғᴛ. ᴄʜᴏɪ ʙᴇᴏᴍɢʏᴜ] Tuhan selalu mengirimkan malaikat penolong untukku, kemudian di saat aku sembuh, Dia mengambilnya kembali. Apa begini cara hidup bekerja? sebuah catatan karsa, 2022.